Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh, Selamat Datang di Blog-SITE "PIMPINAN RANTING GERAKAN PEMUDA ANSOR GEMAHARJO" Kec. Watulimo Kab. Trenggalek. Semoga Bermanfaat Untuk Kita Semua. Aamiin

Kamis, 30 Maret 2017

Dalam kitab Al Busyro fi manaqib sayyidati khodijah al Kubro, yang ditulis Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliky al Hasani disebutkan, istri Rasulullah Khadijah wafat pada hari ke-11 bulan Ramadlan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Khadijah berkata kepada Rasululllah SAW, “Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.”

Rasulullah menjawab, “Jauh dari itu ya Khadijah. Engkau telah mendukung da’wah Islam sepenuhnya”.

Kemudian Khadijah memanggil Fatimah  Azzahra dan berbisik, “Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku”

Mendengar itu Rasulullah SAW berkata, “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu, dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.”

Saat itu Malaikat Jibril turun dari langit membawa lima kain kafan. Rasulullah bertanya, “Untuk siapa sajakah kain kafan itu, ya Jibril?”

“Kafan ini untuk Khadijah, engkau ya Rasulullah, Fatimah, Ali dan Hasan.”, jawab Jibril.

Jibril berhenti dan menangis. Rasulullah bertanya, “Kenapa, ya Jibril?”

“Cucumu yang satu, Husain tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan.”

Rasulullah berkata di dekat jasad Khadijah, “Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu. Semua hartamu kamu hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini darimu. Permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?”

“Ya Allah, ya Ilahi rabbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?”

Tiba-tiba Ali berkata, “Aku, Ya Rasulullah!”

Peristiwa wafatnya Khadijah itu sangat menusuk jiwa Rasulullah . Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah ditinggal orang sangat dicintai dan mendukung perjuangannya menegakkan Islam.

        اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد


Senin, 20 Maret 2017


Al-Imam Abu Hamid Muhamad bin Muhammad Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumiddin mengatakan bahwa peran pokok manusia sebagai khalifah di dunia ada empat macam. Di mana manusia tidak akan mampu menciptakan sebuah peradaban tanpa keempat macam peran itu.

Keempat macam peran itu adalah (1) Az-Zira’ah (pertanian), (2) Al-Hiyakah (industri tekstil), (3) Al-Bina’ (pembangunan), dan (4) As-Siyasah (politik). Selain keempat peran tersebut, apa yang menjadi karya manusia di dunia hanyalah pelengkap saja.

Keempatnya menjadi penting karena memenuhi dan mengatur kebutuhan pokok kehidupan manusia di dunia. Az-Zira’ah (pertanian) memenuhi dan mengatur kebutuhan pangan manusia. Al-Hiyakah (industri tekstil) memenuhi kebutuhan sandang. Al-Bina’ (pembangunan) mengatur dan melayani kebutuhan tempat tinggal (papan). Sedangkan politik memenuhi dan mengatur kebutuhan sosial untuk keberlangsungan semua hal di atas.

Dari kesemua peran di atas, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa peran politik adalah peran yang paling mulia. Hal ini karena dengan peran politik, manusia dapat memiliki wewenang untuk menjaga, mengatur dan menegakkan kebaikan bagi semua peran pokok manusia di atas.

Selanjutnya Imam Al-Ghazali membagi peran politik kepada 4 (empat) tingkatan yaitu (1) peran politik para nabi yang memberikan pelayanan lahir dan batin kepada semua kalangan umat, (2) peran politik para penguasa (raja, sultan, khalifah, presiden) yang memberikan pelayanan lahiriyah kepada semua kalangan umat, (3) peran politik para ulama yang memberikan pelayanan batiniah (ilmu dan agama) kepada semua kalangan masyarakat, dan (4) para muballigh yang memberikan pelayanan ilmu dan agama kepada kalangan masyarakat awam saja.

Dari keempat peran tersebut, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa yang paling mulia setelah peran para nabi adalah peran para ulama. Hal ini karena telah dinyatakan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Demikian ini karena telah dibuktikan bahwa para ulama telah mendidik masyarakat dan membersihkan hati mereka dari akhlak tercela dan menunjukkan kepada akhlak yang baik.

Ringkasnya, Imam Al-Ghazali meletakkan posisi para ulama sebagai paling mulia setelah nabi karena peran politik kebangsaan mereka dalam membangun karakter manusia yang luhur. Di mana dengan karakter luhur tersebut akan menjadi insan yang berbudi luhur dan mampu menjadi pemimpin bangsa yang baik.

Uraian ini disarikan dari Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, juz 1, halaman 13-14. (R Ahmad Nur Kholis)



Sumber : NU Online


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online yang baik, ketika sembahyang ashar dan terutama sembahyang maghrib tiba banyak anak-anak kecil usia sekolah dasar berkumpul di masjid. Mereka ikut sembahyang berjamaah bersama orang dewasa. Hanya saja mereka sesekali bercanda di masjid yang menimbulkan kegaduhan.

Ada juga pengurus masjid dan sebagian jamaah yang memperingati mereka. Sebagian lagi ada yang membentak mereka dengan keras. Sebenarnya bagaimana sikap kita menghadapi anak-anak kecil yang sesekali bercanda di masjid? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Assalamu alaikum. wr. wb. (Musa/Jakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua. Bermain lebih tepatnya bercanda memang sudah fitrah anak-anak. Karenanya hal ini tidak bisa dihindari. Tetapi kadang candaan mereka juga menggangu kenyamanan jamaah dewasa pengguna masjid.

Lalu bagaimana kita sebagai pengurus masjid atau orang dewasa menanggapi kehadiran anak-anak itu di masjid. Berikut ini kami kutip keterangan Imam Al-Ghazali perihal kemunkaran di masjid termasuk batasan dan pengecualiannya.


ولا بأس بدخول الصبي المسجد إذا لم يلعب ولا يحرم عليه اللعب في المسجد ولا السكوت على لعبه إلا إذا اتخذ المسجد ملعبا وصار ذلك معتادا فيجب المنع منه فهذا مما يحل قليله دون كثيره ودليل حل قليله ما روي في الصحيحين أن رسول الله صلى الله عليه و سلم وقف لأجل عائشة رضي الله عنها حتى نظرت إلى الحبشة يزفنون ويلعبون بالدرق والحراب يوم العيد في المسجد ولا شك في أن الحبشة لو اتخذوا المسجد ملعبا لمنعوا منه ولم ير ذلك على الندرة والقلة منكرا حتى نظر إليه 

Artinya, “Anak kecil tidak masalah masuk ke masjid selagi ia tidak bermain. Bermain di masjid tidak haram bagi mereka. Membiarkan mereka bermain di masjid juga tidak diharamkan kecuali jika mereka menjadikan masjid tempat bermain, dan itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Kalau sudah demikian (masjid jadi tempat bermain), maka wajib dilarang karena bermain di masjid termasuk aktivitas yang halal jika sedikit, dan tidak halal ketika banyak. Dalilnya adalah hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW berdiam demi Aisyah RA yang menyaksikan anak-anak Habasyah menari dan bermain perisai dari kulit dan berperang-perangan pada hari Idul Fithri di masjid. Tidak diragukan lagi bahwa anak-anak Habasyah itu seandainya menjadikan masjid tempat bermain, niscaya mereka akan dilarang bermain. Rasulullah SAW tidak memandang anak-anak itu bermain itu sebagai sebuah kemunkaran sehingga beliau SAW ikut menyaksikannya karena saking jarang dan langkanya,” (Lihat Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Mesir, Mushtafa Albabi Al-Halabi wa Auladuh, 1939 M/1358 H, juz 2, halaman 332).

Sayid Muhammad Az-Zabidi yang dengan telaten mensyarahkan kitab Ihya Ulumiddin mengakui bahwa kehadiran orang gila, anak kecil, dan orang mabuk perlu diwaspadai. Mereka tidak bisa menguasai diri sendiri sehingga dikhawatirkan dapat mencemari masjid. Ada baiknya kita melihat sedikit catatan Sayid Muhammad Az-Zabidi berikut ini.


ومنها دخول المجانين والصبيان والسكارى في المسجد فإن هؤلاء مسلوبو الاختيار لا يتحفظون على أنفسهم فليجتنب دخولهم فيه (ولا بأس بدخول الصبي المسجد إذا لم يلعب) وأمن مع ذلك من التلويث

Artinya, “Di antara kemunkaran adalah masuknya orang gila, anak kecil, dan orang mabuk ke dalam masjid. Karena, mereka tidak memiliki daya pilih. Mereka tidak bisa memelihara diri mereka sendiri. Karenanya diusahakan mereka tidak masuk ke dalam masjid. (Anak kecil tidak masalah masuk ke masjid selagi ia tidak bermain). Dan bersamaan dengan (bermainnya) itu aman dari pencemaran,” (Lihat Sayid Muhammad bin Muhammad Al-Husayni Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, Beirut, Muassasatut Tarikhil Arabi, 1994 M/1414 H, juz 7, halaman 55-56).

Bahkan Sayid Muhammad Az-Zabidi lebih tegas mengatakan bahwa candaan anak kecil di dalam masjid bukan bagian dari kemunkaran seperti Rasulullah SAW menyikapi kehadiran anak-anak Habasyah yang bermain di masjid seperti kami kutip berikut ini.


ولم ير ذلك على الندرة والقلة منكرا حتى نظر إليه( بنفسه تعليما للأمة وتنبيها لهم بأن في هذا الدين فسحة

Artinya, “(Rasulullah SAW tidak memandang anak-anak itu bermain itu sebagai sebuah kemunkaran sehingga beliau SAW) sendiri (ikut menyaksikannya karena saking jarang dan langkanya) sebagai pendidikan dan peringatan bagi umatnya bahwa di dalam agama terdapat kelonggaran-kelonggaran,” (Lihat Sayid Muhammad bin Muhammad Al-Husayni Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, Beirut, Muassasatut Tarikhil Arabi, 1994 M/1414 H, juz 7, halaman 56).

Catatan kami, kehadiran anak-anak kecil di masjid perlu dimaklumi dan perlu pendampingan orang tua, terutama bagi anak-anak kecil di bawah usia lima tahun agar tidak mencemari masjid dengan kemungkinan najis yang ada padanya.

Berikutnya, pengurus masjid dan para jamaah perlu memaklumi bahwa kehadiran anak-anak kecil terutama anak-anak di atas lima tahun itu patut disyukuri karena mereka sudah mengawali pembiasaan di masjid sedini mungkin.

Menciptakan “masjid ramah anak” memang membutuhkan kesiapan manajemen, tata ruang, dan kesadaran tinggi seluruh jamaah. Padahal anak-anak kecil juga memiliki hak guna terhadap masjid. Adapun candaan mereka yang mengganggu kenyamanan jamaah dewasa cukup diperingati dengan lemah lembut, tidak perlu bentakan, hardikan, dan cara kasar lainnya karena cara-cara kasar dapat menciptakan trauma dan banyak mudharat lainnya.

Demikian yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Sumber : NU Online


Suatu hari, Simbah Kiai Abdul Hamid Pasuruan menerima tamu seorang pria yang kebetulan memakai gelang yang terbuat dari emas. Padahal, sebagaimana yang telah termaktub dalam beberapa kitab fiqh, haram hukumnya seorang lelaki memakai perhiasan, baik cincin maupun gelang, yang terbuat dari emas.

Namun, untuk mengingatkan sang tamu, kyai Abdul Hamid tidak serta merta menyuruh orang tersebut mencopot, apalagi memaksa. Dengan lemah lembut, beliau meminta gelang emas tersebut dari tamu. "Pak gelange kulo suwun njiih (Pak, gelangnya saya minta ya)," kata Kiai Abdul Hamid.

Karena yang meminta adalah seorang tokoh ulama yang sangat disegani, dengan gembira sang tamu pun memberikan gelang tersebut. "Monggo Pak Kiai," sahut sang tamu.

Setelah diambil Kiai Hamid, ia kemudian memberikan kembali gelang tersebut kepada si tamu, sambil berkata. "Pak, niki gelange kulo hadiahaken kagem istri njenengan (Pak, ini gelangnya saya hadiahkan untuk istri Anda,” tutur Kiai Hamid.

Dengan sedikit kebingungan karena pemberian yang ia berikan, justru diberikan kembali, sang tamu pun bertanya. Pertanyaan tersebut dijawab Kiai Hamid dengan penjelasan bahwa seorang lelaki dilarang untuk memakai gelang emas.

Setelah mendengarkan penjelasan tersebut, sang tamu pun mau menerima penjelasan tersebut dan tidak memakai gelang emasnya dengan senang hati dan tanpa ada rasa dipaksa.

Begitulah akhlak seorang ulama, melarang tanpa harus menyakiti yang bersangkutan. Lahu al-fatihah! (Ajie Najmuddin, disarikan dari Ceramah Habib Muhammad bin Husein bin Anis Al-Habsyi Solo, pada pengajian Khotmil Qur'an MWC NU LAWEYAN, Senin (13/3/2017) )


Sumber : NU.OR.ID

Jumat, 17 Maret 2017

BanserNews ~ Pringapus; Jum'at, 17 Maret 2017 ~ Satuan Koordinasi Cabang Barisan Ansor Serbaguna Trenggalek menggelar Pendidikan dan Latihan Dasar BANSER. Kegiatan ini sedianya dilaksanakan selama 3 hari dimulai hari ini (Jum'at; red) dan berakhir besuk hari Ahad, 19 Maret 2017.

Pada kegiatan Diklatsar yang ke - 8 ini, Satkorcab Banser Trenggalek menggandeng Satkoryon Banser Dongko yang sekaligus sebagai Panitia Pelaksana. Kegiatan Diklatsar dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah Ma'arif Plus "NASYIT AN-NAHL" yang berlokasi di Dusun Plandaan Sewu Desa Pringapus Kec. Dongko  Kab. Trenggalek.

Kegiatan Diklatsar ke - 8 dimulai pukul 10.00 wib (ceck in peserta) dan dengan upacara pembukaan dimulai pukul 13.30 wib. Sebagai Inspektur Upacara pada pembukaan adalah Komandan Satkorcab Banser Trenggalek, yaitu Sahabat Fatkhur Rohman, MQ.

Nampak hadir dalam pembukaan Diklatsar adalah Pengurus MWC NU Kec. Dongko beserta Banom-banom NU, Rekan-Rekanita Pengurus IPNU-IPPNU Cabang Trenggalek, Segenap Jajaran Muspika Kecamatan Dongko, Para Kepala Desa se Kec. Dongko dan juga dari jajaran Pengurus Gerakan Pemuda Ansor Cabang Trenggalek serta pengurus PAC GP Ansor se Kabupaten Trenggalek.

Harapan dalam Diklatsar ke - 8 ini adalah semoga setelah diadakannya pendidikan dan latihan dasar BANSER akan melahirkan para generasi muda NU yang siap dan mumpuni untuk mengawal serta menjaga NKRI - para Ulama terkhusus siap sedia meneruskan perjuangan dan rela berkorban demi agama, nusa dan bangsa.

Semoga Allah SWT senantiasa membimbing, melindungi dan meridloi setiap upaya kita untuk ber-amar makruf nahi munkar. Aamiin


Kontributor : Murdiyanto


Dokumentasi Kegiatan Klik DISINI


Dalam Kitab Tanqih Al-Qaul Imam Al-Hafizh Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sbb:

وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات

”Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik. Sampai 3x Nabi mengatakan Munafik.

Menagislah karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama.

عن ابن عباس ، في قوله تعالى : أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا سورة الرعد آية 41 قال : موت علمائها . وللبيهقي من حديث معروف بن خربوذ ، عن أبي جعفر ، أنه قال : موت عالم أحب إلى إبليس من موت سبعين عابدا .

Dari Ibnu Abbas ra. tentang firman Allah, “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?.” (Al-Ra’d: 41). Beliau mengatakan tentang (مِنْ أَطْرَافِهَا = dari tepi-tepinya) adalah wafatnya para ulama. Dan menurut Imam Baihaqi dari hadits Ma’ruf bin Kharbudz dari Abu Ja’far ra berkata, “Kematian ulama lebih dicintai iblis daripada kematian 70 orang ahli Ibadah.”

Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah yang berbunyi:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?.” (Al-Ra’d: 41).

Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya).Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama (Tafsir Ibnu Katsir 4/472)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah. Rasulullah bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ

Artinya: “Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama” (HR al-Thabrani dalam Mujam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda’)

Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ

Artinya: “Ambillah (Pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)” (HR Ad-Darimi, At-Thabrani No 7831 dari Abu Umamah).

Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadits sahih.

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambanya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan” (HR al-Bukhari No 100)

Semoga dg wafatnya KH.Hasyim Muzadi, kita semua berdoa dan berharap akan ada yang meneruskan perjuangannya. Aamiin

Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib:

إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه

Artinya: “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Ihya Ulumiddin I/15).

Al Fatihah ....

Sumber : Page PISS-KTB


Kamis, 16 Maret 2017

Para ulama khas Nahdlatul Ulama mengadakan silaturahim di Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah pada Kamis (16/3). Silaturahim tersebut membuah hasil dengan nama "Risalah Sarang". Berikut isinya: 

الرَّحِيمِ الرَّحْمَنِ اللَّهِ بِسْمِ

أُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
 (النحل: ١٢٥)

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125) 


لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلَّا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
 (١٠٧:الأنبياء)

“Kami (Allah) tidak mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai pembawa rahmat bagi semesta” (QS. Al-Anbiya`: 107)


مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
 (الحشر: ٧)


Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Al-Hasyr: 7)


يٰۤاَيُّهَا الَّذِينَ اٰمَنُوا اِن جَاءَكُم فَاسِقٌ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوا اَن تُصِيبُوا قَومًا  بِجَهَالَةٍ فَتُصبِحُوا عَلٰى مَا فَعَلتُم نٰدِمِينَ (الحجرات: ٦) ‏


Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al –Hujurat: 6)

لاَخَيْر فِي كَثِيْرٍ مِنْ نَجْوَاهُم إلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوْفٍ أًوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّأسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ إِبْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُوْتِيْهِ أَجْرا عَظِيْما
(النساء: ١١٤)
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahalanya yang besar. 
(An Nisa: 114)

امُيَسِّرً مُعَلِّمًا بَعَثَنِي وَلَكِنْ ، مُتَعَنِّتًا وَلا مُعَنِّتًا يَبْعَثْنِي لَمْ اللَّهَ إِنَّ
(رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tidak mengutusku (Muhammad) sebagai orang yang mempersulit atau memperberat para hamba. Akan tetapi Allah mengutusku sebagai pengajar yang memudahkan (HR. Muslim).

الْأَخْلَاقِ مَكَارِمَ لِأُتَمِّمَ بُعِثْتُ إِنَّمَا
(رواه بيهقي)

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Al-Baihaqi)


السَّمَاءِ فِي مَنْ يَرْحَمْكُمْ الْأَرْضِ فِي مَنْ ارْحَمُوا الرَّحْمن يَرْحَمُهُمْ الرَّاحِمُونَ
(رواه الترمذي)

“Orang-orang yang menyayangi sesama, Sang Maha Penyayang menyayangi mereka. Sayangilah semua penduduk bumi niscaya penduduk langit akan menyayangimu” (HR. At-Tirmidzi)

فَاالتَّفَرُقُ سَبَبُ الضُعْفِ وَالجِذْلاَنِ وَالفَصْلِ فِي جَمِيْعِ الأَزْماَنِ. بَلْ هُوَ مَجْلَبَةُ الفَسَادِ وَمَطِيَّةُ الكَسَادِ وَدَعِيَّةُ الخَرَبِ والدِّمَارِ، وَدَاهِيَةُ العَارِ وَالسَّتَّارِ.
فَكَمْ مِنْ عَا ئِلاَتٍ كَبِيْرَةٍ كَانَتْ فِي رَغَدٍ مِنَ الغَيْشِ وَبُيُوْتٍ كَثِيْرَةٍ كَانَتْ أهِلَةً بِأَهْلِهَا حَتَّى إِذَا دَبَّتْ فِيْهِم عَقَارِبُ التَّنَزُعِ وَسَرَى سُمُّهَا فِي قُلُوْبِهِم، وَأَخَذَ مِنْهُمُ الشَيْطَانُ مَأْخَذَهُ تَفَرَّقُوْا شَذَرَ مَذَرَ فَأَصْبَحَتْ بُيُوْتَهُمْ خَاوِيَةً عَلَى عُرُوْسِهَا 
(الرئيس الأكبر لجمعية نهضة العلماء الشيج العالم العلامة محمد هاشم أشعري, مقدمة القانون الأساسي لجمعية نهضة العلماء)

Perpecahan adalah penyebab kelemahan, kekalahan dan kegagalan di sepanjang zaman. Bahkan pangkal kehancuran dan kemacetan, sumber keruntuhan dan kebinasaan, dan penyebab kehinaan dan kenistaan. Betapa banyak keluarga keluarga besar, semula hidup dalam keadaan makmur, rumah-rumah penuh dengan penghuni, sampai satu ketika kalajengking perpecahan merayapi mereka, bisanya menjalar meracuni hati mereka dan syaithan pun melakukan perannya, mereka kocar-kacir tak karuan. Dan rumah-rumah mereka runtuh berantakan. (Rais Akbar Jamiyah Nahdlatul Ulama Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, Muqaddimah Qanun Asasi)

Bismillahirrahmanirrahim

1. Nahdlatul Ulama senantiasa mengawal Pancasila dan NKRI serta keberadaannya tidak dapat bisa dipisahkan dari keberadaan NKRI itu sendiri. Nahdlatul Ulama mengajak seluruh ummat islam dan bangsa Indonesia untuk senantiasa mengedepankan pemeliharaan negara dengan menjaga sikap moderat dan bijaksana dalam menanggapi berbagai masalah. Toleransi, demokrasi dan terwujudnya akhlakul karimah dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat harus terus diperjuangkan bukan hanya demi keselamatan dan harmoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia ini saja, tetapi juga sebagai inspirasi bagi dunia menuju solusi masalah-masalah peradaban yang dihadapi dewasa ini.

2. Lemahnya penegakan hukum dan kesenjangan ekonomi merupakan sumber-sumber utama kegelisahan masyarakat selain masalah-masalah sosial seperti budaya korupsi, rendahnya mutu pendidikan dan sumberdaya manusia, meningkatnya kekerasan dan kemerosotan moral secara umum. Pemerintah diimbau agar menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut termasuk dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada yang lemah (affirmatif) seperti reformasi agraria, pajak progresif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakkan hukum yang lebih tegas dan adil dengan tetap menjaga prinsip praduga tak bersalah dalam berbagai kasus yang muncul. Penyelenggaraan negara oleh pemerintah dan unsur-unsur lainnya harus senantiasa selaras dengan tujuan mewujudkan maslahat bagi seluruh rakyat (tasharraful imam manutun bi maslahatirroiyyah).

3. Perkembangan teknologi informasi, termasuk internet dan media-media sosial, serta peningkatan penggunaannya oleh masyarakat membawa berbagai manfaat seperti sebagai sarana silaturahmi nasrul ilmi taawwun alal birri dan sebagainya, tetapi juga mendatangkan dampak-dampak negatif seperti cepatnya penyebaran fitnah dan seruan seruan kebencian, propaganda radikalisme, pornografi, dan halhal lain yang dapat merusak moral dan kerukunan masyarakat. Pemerintah diimbau untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif baik dalam mengatasi dampak-dampak negatif tersebut maupun pencegahanpencegahannya. Pada saat yang sama para pemimpin masyarakat dihimbau untuk terus membina dan mendidik masyarakat agar mampu menyikapi informasiinformasi yang tersebar secara lebih cerdas dan bijaksana sehingga terhindar dari dampak-dampak negatif tersebut.

4. Para pemimpin negara, pemimpin masyarakat, temasuk pemimpin Nahdlatul Ulama agar senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat dengan senantiasa arif dan bijaksana dalam menjalankan tugas masing-masing dengan penuh tanggung jawab adil dan amanah dengan menomorsatukan kemaslahatan masyarakat dan NKRI.

5. Para ulama dalam majlis ini mengusulkan diselenggarakannya forum silaturrahmi di antara seluruh elemen-elemen bangsa untuk mencari solusi berbagai permasalahan yang ada, mencari langkah-langkah antisipatif terhadap kecenderungan-kecenderungan perkembangan di masa depan serta rekonsiliasi diantara sesama saudara sebangsa. Nahdlatul Ulama diminta untuk mengambil inisiatif bagi terwujudnya forum tersebut.


والله الموفق إلى أقوم الطريق


Sarang, 16 Maret 2017


Sumber : NU.OR.ID

Entah mengapa selepas menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di desaku, saya berhasrat sekali untuk meneruskan pendidikan di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah atau biasa dikenal dengan Mathole’, sebuah sebuah sekolah yang terletak di desa Kajen. Saya tahu bahwa di sekolah tersebut muridnya diwajibkan untuk menghapal bait-bait dan atau matan kitab kuning, suatu hal yang dijauhi teman saya pada waktu itu, tapi saya tidak gentar dan mantap untuk meneguk ilmu di Mathole’ karena tertantang. Keinginan kuat saya untuk belajar di Mathole’ didasari atas dua hal: hafalan kitab dan tidak ada Ujian Negeri (UN). Bagi saya, itu ‘sesuatu’ banget.

Namun sayang beribu sayang, orang tua saya tidak memperkenankan saya untuk mendaftar di sekolah tersebut karena berbagai alasan, diantaranya adalah usia saya yang masih kecil. Karena kalau saya jadi mendaftar di sekolah tersebut, saya harus sekaligus tinggal di pesantren yang ada di sekitar Mathole’(salah satu peraturan Mathole’ adalah murid yang jarak rumahnya lebih dari 5 km dari Mathole’, maka wajib mesantren). Itu yang mungkin tidak diinginkan oleh orang tua saya, yakni meninggalkan mereka di saat saya masih bocah.

Setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah, segera saya daftarkan diri di Mathole’. Singkat cerita, dari sekitar 99 orang (kalau tidak salah) yang mendaftarkan diri untuk tingkat Aliyah di Mathole’,hanya ada 9 orang yang diterima pada tingkat Aliyah, termasuk saya. Adapun selebihnya masuk ke tingkat Diniyah Wustho satu dan dua. Kelas persiapan sebelum masuk ke tingkat Aliyah, masing-masing masa pendidikannya berlangsung selama satu tahun. Kalau ada yang diterima di Diniyah Wustho satu, maka ia harus melewati Diniyah Wustho dua terlebih dahulu sebelum menginjak jenjang Aliyah. 

Selama tiga tahun mengenyam pendidikan Islam yang berhaluan Aswaja dan memiliki tagline “Tafaqquh Fiddin, Menuju Insan Sholih Akrom” tersebut, saya menemukan beberapa keunikanyang ada di Mathole’dan itu sudah melekat dan menjadi karakteristiknya. Berikut adalah keunikan-keunikan yang ada di Mathole’. 

1. Menggunakan perhitungan Hijriyah

Pada umumnya, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia menggunakan perhitungan bulan Masehi untuk menentukan tahun pelajaran atauawal-akhir dari proses belajar mengajar (akhir Juli adalah waktu kenaikan kelas). Namun tidak demikian dengan Mathole’, Mathole’ menggunakan tahun dan bulan Hijriyah sebagai patokan untuk menentukan tahun pelajaran. 

Kalau sekolahan yang lain menetapkan akhir Juli sebagai awal dari proses belajar mengajar, maka Mathole’ menetapkan bulan Syawal (bulan ke-10 dari tahun Hijriyah) sebagai awal dari tahun pelajaran dan bulan Sya’ban (bulan ke-8 dari tahun Hijriyah) sebagai akhir dari proses belajar mengajar. Jadi pada bulan ke-9 dari bulan Hijriyah, bulan Ramadhan, murid Mathali’ul Falah libur penuh. Dan biasanya selama bulan puasa ini, mereka mengaji posonan di pesantrennya masing-masing atau di pesantren yang menyediakan program posonan.

Syawwal memiliki arti peningkatan. Setelah satu bulan penuh menjalani puasa pada bulan Ramadlan, maka orang-orang yang beriman akan mendapatkan peningkatan keimanan dan ketakwaan. Berangkat dari situ, maka masyayikh Mathole’ menetapkan Syawwal sebagai awal tahun pelajaran sebagai bulan peningkatan intelektualitas murid Mathole’ atau kenaikan kelas.Cerita yang saya dengar seperti itu. Entah benar atau tidak, Wallahu ‘Alam. Namun yang pasti, tahun pelajaran baru Mathole’ berbeda dengan tahun pelajaran baru sekolah-sekolah lainnya.

2. Tidak ada Ujian Nasional

Sekolah yang didirikan oleh KH Abdussalam pada tahun 1912 ini tetep keukeuh tidak mau mengikuti Ujian Nasional (UN). Konon, pada masa Orde Baru, Mathole’ diminta pemerintah untuk ikut serta dalam Ebtanas/UN dengan iming-iming Mathole’ akan diberikan bantuan untuk pembangunan gedung. Namun KH Sahal Mahfudh, Direktur Mathali’ul Falah pada waktu itu, menolak dengan tegas tawaran dari pemerintah tersebut dan tetap mempertahankan kurikulum Mathole’ yang tidak ikut Ujian Nasional hingga sekarang.

Meski tidak ada Ujian Nasional, ijazah yang dikeluarkan Mathole’ memiliki status mu’adalah (setara) dengan sekolah-sekolah yang mengikuti UN dan bisa digunakan untuk mendaftarkan diri ke Perguruan Tinggi baik swasta maupun negeri.Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2852 tahun 2015 tentang penetapan status kesetaraan, ada 31 pondok pesantren yang disetarakan dengan Madrasah Aliyah/ sederajat, termasuk diantaranya adalah Mathali’ul Falah Kajen, Pati.   

Namun demikian, jangan dikira murid Mathole’akan lulus dengan mudah meski tidak ada Ujian Nasional.Angkatan saya saja ada sekitar 20 teman saya yang tidak lulus karena beberapa alasan seperti tidak lulus tes baca kitab, tidak lulus tes baca Al-Quran, dan lain sebagainya.  

3. Semua yang mendaftar pasti diterima

Di buku Sekolah Anak-anak Juara, Munif Chatib menyatakan bahwa ada tiga tingkatan (maqam) dalam sebuah institusi pendidikan. Pertama, sekolah yang menetapkan tes standar masuk adalah maqam terendah. Kedua, sekolah yang hanya mau menerima anak-anak pintar dan baik, sebagai maqam kedua. Terakhir, sekolah yang menerima semua kategori alias menerima semua siswa yang mendaftar adalah sekolah denga maqam tertinggi. 

Pada sekolah maqam tertinggi,murid-murid tersebut diklasifikasikan ke dalam kelas sesuai dengan gaya belajarnya masing-masing.Chatib menyakini setiap murid itu cerdas, tinggal bagaimana mereka diperlakukan dengan sesuai dan tepat.

Pun di Mathole’, tidak ada satu pun murid yang mendaftar yang tidak diterima, semuanya diterima. Tes masuk yang dilakukan Mathole’ hanya bersifat untuk mengetahui kompetensi masing-masing murid, sehingga mereka bisa ditempatkan di kelas yang sesuai dengan kemampuan mereka. 

Sesuai dengan informasi yang saya terima, siswi Mathole’ atau biasa disebut Banatbeberapa tahun terakhir ini membludak hingga lokal kelas yang ada di komplek Perguruan Islam Mathali’ul Falah tidak cukup untuk menampungnya, meski demikian Mathole’ tetap menerima murid yang mendaftar tersebut. Hingga akhirnya, gedung TPQ yang berada di sebelah selatan Masjid Kajen dijadikan sebagai tempat belajar mengajar Banat. Karena dalam sejarahnya, Mathole’ tidak pernah menolak murid yang ingin belajar.

4. Hafalan sebagai sebuah kewajiban

Salah satu keunikan dan karakteristik dari Mathali’ul Falah adalah menjadikan hafalan nadzaman atau matan kitab-kitab kuning sebagai syarat kenaikan kelas. Sepintar dan sebagus apapun nilainya, tapi kalau tidak hafal, ya harus tinggal di kelas yang sama. Di Mathole’, hafalan sudah mendarah daging dan itu sudah dimulai sejak tingkat Madrasah Ibtidaiyyah (setingkat Sekolah Dasar).

Hafalan untuk kelas tiga Madrasah Ibtidaiyyah adalah Durusul Fiqhiyyah bagian pertama (Fiqih), kelas empat Ibtidaiyyah juga Durusul Fiqhiyyah, tapi bagian yang terakhir. Untuk kelas lima dan enam Ibtidaiyyah hafalannya adalah Arbain Nawawi (hadis) dan Amtsilati Tasrifiyyah (sorof), berturut-turut bagian pertama dan bagian akhir.

Adapun hafalan kelas satu Tsanawiyyah adalah 500 bait Alfiyah ibnu Malik (nahwu) bagian pertama, untuk 500 bait berikutnya dihafal di kelas dua Tsanawiyah dan ditambah dengan 110-an bait Kifayatut Tullab (ilmu faroid). Kelas tiga Tsanawiyah, murid harus hafal matan Tashilut Turuqot 140-an bait (ushul fikih). Sementara kelas satu Aliyah, hafalannya adalah 280-anbait Jauharul Maknun (balaghoh) dan 140-an bait Sullamul Munauroq (mantiq). 

Satu, dua, atau tiga hari sebelum setoran, biasanya banyak ditemukan murid-murid Mathali’ul Falah yang begadang sampai subuh di makan Mbah Mutamakkin, makam Mbah Syamsuddin, dan Makam Mbah Ronggo Kusumo. Mereka menghafal bagian-bagian yang mereka belum hafal atau sekedar mengulang dan melancarkan bait-bait yang sudah mereka hafal. Di Mathole’ masih menggunakan sistem Cawu (Catur Wulan), yaitu Cawu satu, dua, dan tiga. Untuk setoran hafalan, biasanya diselenggarakan tiga kali: setelah Cawu satu dan dua, serta sebelum Cawu tiga. 

5. Karya Tulis Arab (KTA)

Kalau hafalan menjadi syarat kenaikan kelas, maka Karya Tulis Arab (KTA) adalah syarat untuk mengikuti ujian Catur Wulan dua pada saat kelas tiga Aliyah. Kewajiban menulis karya tulis ini dimulai sejak sejak tahun 1998 dengan tujuan untuk mengembangkan dan melestarikan budaya tulis-menulis di kalangan pesantren yang kian hari kian susut. KTA ini wajib ditulis tangan secara manual, tidak diperkenankan diketik dengan komputer kecuali tulisan sampulnya. 

Para murid Mathole’ dibimbing oleh musyrif (pembimbing) dalam menyusun karya tulis tersebut. Selain menulis, mereka juga harus mampu memahami dan menjelaskan apa yang mereka tulis. Setelah KTA berhasil disusun, maka sesis selanjutnya adalah munaqosah (ujian KTA). Di sinilah mereka diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis di hadapan tim penguji. Jadi kalau lulus Mathole’ kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Insya Allah tidak akan kaget lagi denganhal-hal yang berkaitan dengan tulis-menulis karya tulis. Hehe, semoga.

6. Tes Al-Quran dan Kitab sebagai syarat kelulusan

Jika dibandingkan dengan sekolah lain, Mathole’ memang memiliki persyaratan kelulusan yang lebih banyak. Mulai dari menulis KTA, tes Al Quran, tes kitab, dan nilai yang harus melebihi standar adalah rangkaian syarat untuk lulus dari Mathali’ul Falah. 

Tes Al Quran dan tes kitab dilaksanakan sebelum ujian Catur Wulan tiga. Ada empat kitab yang diujikan; Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Tukhfatut Tullab, dan Ghoyatul Wushul. Sekitar satu jam sebelum tes kitab, murid-murid baru dikasih tahu kitab apa yang akan diujikan kepadanya. Maka dari itu, merekaharus mempersiapkan ke-empat-empatnya dengan matang.Dalam tes kitab, mereka diminta untuk memaknai teks dengan utawi iki iku, kemudian mereka menjelaskan maksud dari teks tersebut. Waktu itu saya kebagian kitab Tuhfatut Tullab dan mendapatkan bab-bab awal. Hehe, 

7. Absen yang sangat ketat

Menurut saya, Mathole’ memiliki sistem absensi yang super ketat. Bagaimana tidak, murid yang tidak masuk kelas, lari atau L istilah yang digunakan Mathole’, sebanyak tujuh kali dalam satu tahun pelajaransecara berturut-turut tanpa keterangan maka ia dianggap mengundurkan diri dari Mathole’ atau dikeluarkan.Sedangkan, murid yang lari (L) sebanyak sepuluh kali tanpa alasan, mereka tidak akan naik kelas meski nilainya bagus-bagus dan hafalannya tuntas.  

Pada zaman saya masih sekolah di sana, murid yang datang telat diminta untuk membaca Al Quran beberapa juz tergantung dari tingkat keterlambatannya. Mungkin sistem absesi dan sanksi bagi yang datang telat telah berubah. Terlepas dari itu semua, saya berkeyakinan bahwa hal tersebut diterapkan Mathole’ untuk mendidikdan menerapkan kedisiplinan tingkat tinggi. semoga tidak ada lagi yang tidak naik kelas gara-gara “L”. 

8. Direktur, sebutan untuk Kepala Sekolah 

Di Mathali’ul Falah, Direktur bertanggung jawab atas Madrasah Aliyah, Diniyah Wustho, Madrasah Tsanawaiyyah, Diniyah Ula, dan Madrasah Ibtidaiyyah. Sebagaimana tulisan Musthofa Asrori dalam buku Kekhasan Pendidikan Islam, sampai sekarang Mathali’ul Falah sudah dipimpin oleh empat orang. Mereka adalah KH. Mahfudh Salam (1922-1944), KH. Abdullah Zen Salam dan dibantu KH. Muhammadun Abdul Hadi (1945-1963), KH. Sahal Mahfudh (1967-2014), KH. Nafi’ Abdillah (2014-2017), dan Ustadz H. Muhammad Abbad (2017-sekarang).

Pada zaman KH. Mahfudh Salam, Mathole’ menggunakan kurikulum klasikal dengan pembagian kelas shifir awwal, tsani, dan tsalis. Sedang pada kepemimpinan KH. Abdullah Salam, dikembangkan sistem penjenjangan: kelas 1-6 Ibtidaiyyah dan kelas 1-3 Tsanawiyyah. Selanjutnya KH. Sahal Mahfudh mengembangkan Mathole’ hingga tingkat Aliyah untuk putra-putri, Diniyah Ula, dan Diniyah Wustho. 

Setahu saya hanya Mathali’ul Falah yang menggunakan istilah Direktur untuk menyebut kepala sekolahdi instutusi pendidikan setingkat Madrasah Aliyah atau sederajatnya. 

9. Asatidz adalah Para Alumni PIM

Selama saya sekolah di Mathali’ul Falah, (setahu saya) hanya ada satu guru yang tidak alumni Mathole’. Guru tersebut mengajar pelajaran ilmu eksak. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberdayakan alumni-alumni Mathole’ yang berilmu mumpuni baik lulusan pondok pesantren ataupun lulusan Perguruan Tinggi dalam maupun luar negeri,terlebih alumni Timur Tengah. Ada program mengabdi untuk Mathole’ selama satu tahun bagi lulusan-lulusan Timur Tengah,terutama bagi yang “diberangkatkan” oleh Mathali’ul Falah.

10. Pakai Jarit

Unik, menarik, dan tidak ada duanya. Murid perempuan Mathali’ul Falah atau biasa disebut banatmemiliki seragam yang khas. Jarit. Kain bawahan yang tidak berjahit. Iya, banat tidak diperkenankan menggunakan bawahan selain jarit. Jarit tersebut dililitkan melingkari perut kemudian diikat dengan korset.

Banat memiliki tiga style seragam; pertama, kerudung hitam, baju putih, dan jarit hitam. Kemudian, kerudung putih, baju dan jarit warna hijau daun. Dan, kerudung putih, baju putih, serta jarit warna krem. Semua bawahannya adalah jarit. 

Kalau sekolah lain menggunakan rok untuk bawahan siswa perempuan, maka Mathole’ tetap mewajibkan siswinya untuk menggunakan jarit. Sebuah keunikan tersendiri bukan?

11. Banin dan Banat Dipisah

Banin (Siswa laki-laki) dan banat (siswi perempuan) Mathali’ul Falah memiliki jadwal pelajaran yang berbeda. Banin dan banat belajar pada gedung yang sama, namun mereka tidak belajar bersama. Banin belajar dari pukul tujuh pagi sampai pukul setengah satu siang, sementara banat belajar dari pukul satu siang sampai pukul lima sore.Dengan demikian, antara murid laki-laki dan murid perempuan tidak bisa bertemu dan berinteraksi satu sama lain karena perbedaan jam pelajaran tersebut dan memang tidak diperkenankan untuk berkomunikasi kecuali urusan organisasi, itu pun terbatas dan tidak di tempat umum.Siapapun yang ketahuan berinteraksi dengan yang bukan mahromnya, maka sanksi akan menantinya.

Terkait perbedaan jam pelajaran tersebut, saya punya cerita yang menggelitik. Saat itu, saya tertidur pada jam pelajaran terakhir. Setelah pelajaran selesai, tidak ada satu temanpun yang membangunkan saya (mereka sudah bersepakat), mereka membiarkan dan malah mengerjai saya dengan menyembunyikan peci, buku, dan sepatu di laci-laci meja secara acak. Saya tertidur hingga anak banat datang. Saya kaget bukan kepalang, terdengar suara cewek membangunkan saya dengan menggebrak-gebrak meja. 

Mbak-mbak yang membangunkan tersebut langsung keluar dan di luar terlihat banyak anakbanat yang sepertinya tidak berani masuk karena ada anak banin yang tertidur tersebut. Saya langsung bangun, mencari peci, buku, dan sepatu yang diumpatkan tersebut. Kemudian lari terbirit-birit menerjang pojok-pojok gedung Mathole’ yang sudah dipenuhi oleh anak-anak banat. Hanya orang yang pernah tertidur (bukan sengaja tidur) di kelas dan dibangunkan mbak-mbak lah yang bisa merasakan bagaimana malunya hal tersebut, apalagi kalau tidurnya ‘membuat pulau’.Karena ada juga anak banin yang sengaja tidur di jam akhir pelajaran agar terlanjur dan dibangunkan oleh mbak-mbak banat. (Ati-ati modus, hehe)

Itulah sebelas keunikan yang dimiliki oleh Mathali’ul Falah dan mungkin tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah lain. Selain itu, mungkin ada keunikan-keunikan lain. Tapi menurut saya, kesebelas itulah yang menjadikan Mathole’ ‘berbeda’ dengan sekolah-sekolah yang lainnya. Wallahu ‘Alamu Bisshowab.

Muchlishon Rochmat, Alumni Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen, Margoyoso, Pati.


Sumber : NU.OR.ID

SUPPORTED BY

MUTIARA HIKMAH

“Ingatlah.. Allah selalu memberikan kelebihan dibalik kekurangan. Allah selalu memberikan Kekuatan dibalik kelemahan.”

“Ketika perjalanan hidup terasa MEMBOSANKAN. Maka Allah menyuruh kita untuk banyak BERSYUKUR.”

“Ketika kesedihan menjatuhkan AIR MATA Maka Allah meminta kita untuk berusaha TERSENYUM .”

“Kegagalan dalam hidup merupakan salah satu proses untuk menuju sukses.”

TERJEMAHKAN

Diberdayakan oleh Blogger.

NU PEDULI

INFO KARTANU ATM

POST ANSORUNA

PEPELING

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Luqman: 34)