Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh, Selamat Datang di Blog-SITE "PIMPINAN RANTING GERAKAN PEMUDA ANSOR GEMAHARJO" Kec. Watulimo Kab. Trenggalek. Semoga Bermanfaat Untuk Kita Semua. Aamiin

Sabtu, 11 Maret 2017

Gemaharjo ~ Sabtu, 11 Maret 2017 Gerakan Pemuda Ansor Ranting Gemaharjo Kecamatan Watulimo mengadakan kegiatan Turba Perdana ditahun 2017 ini. Pada kesempatan kali ini ada yang spesial dalam kegiatan Turba, karena selain dihadiri oleh jajaran pengurus GP Ansor dan Banser, juga dihadiri oleh jamaah yang tak kurang dari 150 orang yang hadir. 

Kegiatan Turba Perdana ini, dilaksanakan di KAR (Kelompok Anak Ranting) Ndayu - Gemaharjo, tepatnya di Masjid "Al-Falah" Dukuh Srenggak-Ndayu, Desa Gemaharjo, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. 

Tujuan turba Gerakan Pemuda Ansor Ranting Gemaharjo ini, dikandung maksud untuk lebih mendekatkan diri kepada umat yang sekaligus sebagai ajang silaturahmi dan memperkuat ukhuwah Islamiyah antar pengurus dan jamaah/anggotanya. 

Dalam Turba kali ini, rincian kegiatannya antara lain :

  1. Sholat Maghrib berjamaah (di tempat turba)
  2. Dzikir dan Tahlil bersama
  3. Sambutan Ketua GP Ansor Ranting Gemaharjo
  4. Ceramah Ilmiah
  5. Doa
  6. Sholat Isya Berjamaah, dan
  7. Dilanjutkan Musyawarah Lanjutan Pembahasan Program GP Ansor Gemaharjo

Untuk selanjutnya kegiatan Turba dilaksanakan setiap malam AHAD LEGI dengan mengambil istilah "LAILATUL IJTIMA" Gerakan Pemuda Ansor dan Satuan Koordinasi Kelompok Banser Ranting Gemaharjo. 

Berikut Dokumentasi Kegiatannya ...!!
Klik DISINI


Kontributor : Murdiyanto

Trenggalek ~ Gerakan Pemuda Ansor Cabang Trenggalek pada hari Sabtu, 11 Maret 2017 melaksanakan Rapat Kerja Cabang ke-2. Kegiatan tersebut diselenggarakan di Aula Gedung NU Cabang Trenggalek lantai III. Nampak hadir pada kegiatan Rakercab II antara lain Wakil Bupati Trenggalek, yaitu Sahabat H. Muhammad Nur Arifin, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Trenggalek, Pengurus Wilayah GP Ansor Jawa Timur, Pengurus PAC GP Ansor se Kabupaten Trenggalek, dan Pengurus Ranting se Kabupaten Trenggalek. Acara Rakercab II dibuka oleh Wakil Bupati Trenggalek. Dalam Sambutannya, wakil bupati menjelaskan bahwa Ansor Trenggalek harus lebih insten memberikan gerakan sosial yang berupa pelayanan/pertolongan maksimal kepada umat. Karena secara terminologi arti daripada Ansor adalah "penolong" itu katanya. 

"Gus, ditinjau dari terminologi sejarah, Ansor itu berarti penolong. Maka kita harus bergerak menolong sahabat-sahabat yang masih membutuhkan pertolongan". kata wakil bupati Trenggalek yang juga sebagai pengurus wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur itu.

Selain itu pada kegiatan Ansor kali ini ada yang lebih istimewa lagi, karena bersamaan dengan Rakercab II, juga dilaksanakan Akreditasi Organisasi oleh Team Assesor dari Pimpinan Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur. Akreditasi organisasi ini dikandung maksud untuk lebih memaksimalkan manajemen keorganisasian dalam hal keadministrasian. Dalam akreditasi organisasi, diikuti oleh 14 PAC GP Ansor se Kabupaten Trenggalek, yang meliputi : PAC GP Ansor Bendungan, PAC GP Ansor Pule, PAC GP Ansor Dongko, PAC GP Ansor Panggul, PAC GP Ansor Trenggalek, PAC GP Ansor Suruh, PAC GP Ansor Munjungan, PAC GP Ansor Gandusari, PAC GP Ansor Karangan, PAC GP Ansor Tugu, PAC GP Ansor Pogalan, PAC GP Ansor Durenan, PAC GP Ansor Kampak dan PAC GP Ansor Watulimo.

Berikut Dokumentasi Kegiatan Rakercab II Gerakan Pemuda Ansor Trenggalek dan Akreditasi Organisasi yang dilaksanakan oleh Team Assesor dari PW GP Ansor Jawa Timur.

Klik DISINI ....!!!


Kontributor : Murdiyanto

Tuan
Puisi karya: Afi Nihaya Faradisa
.
Tuan berdasi dan berkemeja
Sungguh kami ternganga
Saksikan sosokmu di layar kaca
Senyummu manis disorot kamera
Kami saksikan pula wajah-wajah bahagia
Di foto kunjunganmu ke negara tetangga
Senin ke Singapura, selasa ke Amerika
Saat kau di jalan, kau juga lambaikan tangan
Bersama rombongan Tuan menyapa
Dari mobil-mobil yang berkilap diterpa cahaya
Menuju tempat rayakan keberhasilan
Atas berjalannya program pemerintahan
.
Tuan, kiranya engkau lupa
Karena sibuk memperindah citra
Selama bermasa-masa
Kami hilang dari pandangan mata
Tergerus bisingnya retorika negara
.
Lihatlah!
Di sudut kota, Bi Siti menyeka air mata
Sebab anaknya berhenti sekolah karena biaya
.
Di dekat Sukabumi, Mang Udin menabur melati
Pada nisan istrinya yang mati jadi TKI
.
Di kampung seberang, gadis-gadis kehilangan masa depan
Sebab para hidung belang telah mengendusnya sejak setengah matang
.
Di dekat perigi, Budi kecil sibuk mencuci keladi
Sebab emak tak lagi menanak nasi
.
Lalu, Tuan,
Apalagi yang bisa kami lakukan
Selain menggugat kenyamanan kalian
Ketika hak tak terpenuhi
Ketika bahagia tak terbeli
.
Ah, kami tak berani bermimpi
Di atas janji yang tak pernah terealisasi
Kami hanya menunggu dalam keheranan
Kemana jutaan orang yang dulu turun ke jalan
Mengapa kali ini mereka bungkam
Melihat Tuan merampok triliunan

*) Ket. : EFI NIHAYA FARADISA
Siswa SMAN 1 Gambiran - Banyuwangi


Jumat, 10 Maret 2017

Pada Selasa (7/3) 2017, saya berkesempatan menjadi pembicara dalam acara The 3rd International Conference Planning in the Era of Uncertainty (ICPEU) Sustainable Nation di Universitas Brawijaya, Malang. Pada ICPEU Ketiga ini saya bersama Dr. Ir. Surjono MTP, dari Universitas Brawijaya, Prof. Mamoru Shibayama  dan Prof. Masaaki Okamoto dari Kyoto University membahas isu seputar perencanaan wilayah dan perkembangan kota. Tema "Urban & Regional Planning in Trenggalek Regency" saya pilih, karena Indonesia memiliki potensi luar biasa dan tak terkecuali wilayah urban. Trenggalek sebagai salah satu representasinya, meski didominasi kehidupan agraris dan pedesaan, merupakan bagian poros maritim dunia, sehingga berpotensi menjadi daerah pusat ekonomi baru.

Untuk itu Trenggalek memiliki konsep segitiga pembangunan yaitu Pusat Kota (Kec. Trenggalek), Kota Maritim Baru Prigi (Kec. Watulimo), dan Kota Perdagangan Baru (Kec. Panggul). Kami yakin Trenggalek dapat bertransformasi menjadi jalur dagang penghubung kota-kota besar dan menjadi kota pelabuhan terbesar di Selatan Jawa. Pemerintah akan fokus pada optimasi public service berbasis IT, pemeliharaan ekonomi lokal, pembangunan infrastruktur integratif, Good Governance dan membangun konektivitas lokal antar wilayah yang akan memperkecil jarak antara fasilitas kota dan desa sehingga semakin banyak warga yang betah tinggal di daerah tanpa perlu melakukan urbanisasi. Yang kemudian kita dapat menjaring talenta terbaik untuk membangun daerah. Hal ini tentu memerlukan kesiapan dari kedua belah pihak.

Masyarakat Trenggalek tercinta, sebagai pemimpin saya harus siap menerima aspirasi masyarakat pada program kerja sekaligus  mengedukasikannya secara kontinyu. Meski memerlukan waktu, masyarakat pun harus siap mengubah mind set-nya agar dapat berkooperatif dan ikut serta. Kini, masyarakat pun semakin memahami pentingnya perombakan infrastruktur dan ahli geologis untuk meneliti daerahnya. Saya yakin, kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyatnya menciptakan mutual trust yang menjadi aspek termahal dalam membangun Trenggalek. Untuk itu mari kita jaga bersama dan saling membumi, demi inovasi yang memberikan perubahan. (Foto: Universitas Brawijaya)

Sumber : Page FB Emil Elistianto Dardak


Priiitt....

"Tolong tunjukkan SIM nya!" Kata polantas. Dgn wajah kesal si pengemudi berkata "Maaf pak, saya tau kalau saya salah karena menerobos lampu merah. Tapi tolong, saya jangan ditilang, pak. Saya buru-buru karena hari ini anak saya ulang tahun" kata Ari bernada cemas sambil menatap wajah si polantas terrsebut, yang ternyata adalah teman sekolahnya di SMA.
"Lho .. kau kan si Tono, kita temen SMA dulu!" kata Ari dengan nada lega.

Tapi Tono si polantas tersebut hanya senyum sambil tetap bersikukuh
meminta SIM Ari.

Dengan wajah kecewa Aripun memberikan SIMnya kemudian langsung masuk ke dalam mobilnya dan menutup kaca pintunya rapat-rapat.

Sementara Tono menulis sesuatu di kertas tilang. Beberapa saat kemudian, Tono mengetuk kaca pintu mobil Ari.

Dengan ekspresi yang masih nampak kecewa Aripun membuka kaca pintu mobilnya hanya sedikit, hanya cukup untuk Tono menyelipkan kertas tilang. Tono pun memberikan kertas lewat kaca yang terbuka hanya sedikit itu, lalu pergi tanpa berkata sepatah katapun

Sambil menggerutu karens kesal, Ari membuka kertas tersebut, tapi... "Hei..., apa ini? kenapa SIM saya dikembalikan? Dan... ini kertas apa...?" Gumam Ari.

Segera Ari membuka kertas pemberian Tono tersebut, dan ternyata Tono tidak menilangnya. Tono justru menulis surat yang isinya : "Hai Ari, kau tau gak, dulu saya punya anak satu-satunya yang meninggal ditabrak oleh "Penerobos Lampu Merah"
Pengemudinya dihukum 9 bulan. Setelah bebas ia dapat berkumpul dan memeluk anaknya lagi. Sementara saya... saya
tidak dapat lagi melihat apalagi memeluk anak saya...! Beribu kali saya mencoba untuk memaafkan pengemudi itu... tapi tidak bisa. Maafkan saya Ari. Hati-hati di jalan. Titip salam buat keluargamu dan selamat ulang tahun buat anakmu!"

Tak terasa air mata haru menetes usai membaca surat Tono. Setelah Ari mampu menguasai perasaannya, Ari pun keluar dari mobilnya dan bergegas hendak menjumpai Tono di pos polantas dekat traffic light. Namun ternyata Tono sudah tidak ada di pos polantas tersebut

Selama mengemudi, sepanjang jalan, perasaan hati Ari tak menentu. Dalam hati dia berjanji  akan mencari dan menemui Tono untuk minta maaf, karena telah berprasangka buruk, menganggap Tono sudah lupa dan tak mau lagi mengenal temannya.

MORAL MESSAGE OF THE STORY:
Tak selamanya pengertian kita, sama dengan pengertian orang lain. Terkadang 😂 "SUKA" kita, justru 😢 "DUKA" buat orang lain.
#operasisemeru2017

Disalin dari Page FB LGMI Trenggalek


Kamis, 09 Maret 2017

Trenggalek - Komunitas pelajar korban kecelakaan lalu lintas dibentuk Satuan Lalu Lintas Polres Trenggalek. Komunitas ini dibentuk guna memberikan dorongan semangat bagi korban kecelakaan lain yang masih trauma.

"Dalam komunitas ini untuk sementara ada 30 pelajar korban laka lantas yang kami satukan. Mereka akan saling berbagi pengalaman, bagaimana menjalani hari-hari pascakecelakaan, sehingga tidak minder lagi," kata Kepala Satlantas Polres Trenggalek, AKP Heru Sudjio Budi Santoso, Selasa (7/3/2017).

Komunitas unik ini menjadi menarik, karena satu sama lain memiliki latar belakang yang sama yakni korban kecelakaan. Dari situlah muncul banyak pengalaman yang bisa dibagikan kepada masing-masing anggota.

Heru menjelaskan, anggota komunitas terdiri dari berbagai kategori luka, mulai luka ringan hingga berat. Saat dikumpulkan beberapa waktu yang lalu, pihaknya juga memberikan kesempatan tiga korban kecelakaan untuk testimoni secara langsung terkait kejadian kecelakaan yang menimpanya.

Rencananya, keberadaan komunitas itu juga akan dikembangkan untuk memberikan edukasi kepada pelajar maupun masyarakat lain tentang pentingnya mematuhi aturan atau UU Lalu Lintas. Sehingga tidak menjadi korban keganasan jalan raya berikutnya.

"Yang perlu diingat, rambu-rambu, aturan maupun UU dibentuk demi keselamatan pengguna lalu lintas. Kami melakukan razia juga demi keselamatan para pengguna jalan," ujarnya kepada detikcom.

Pihaknya berharap, komunitas korban laka lantas tersebut akan memberikan manfaat besar bagi para korban maupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Pengalaman langsung dari korban menurut Heru biasanya akan lebih diperhatikan masyarakat.
(fat/fat)

Sumber : https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-3440065/polres-trenggalek-bentuk-komunitas-pelajar-korban-laka-lantas



Sosok pemberi nama Nahdlatul Ulama (NU) adalah Sayid Alwi Abdul Aziz al-Zamadghon. Lazim disebut Kiai Mas Alwi. Ia putra kiai besar, Abdul Aziz al-Zamadghon. Bersepupu dengan KH. Mas Mansyur dan termasuk keluarga besar Sunan Ampel, yang juga pendiri sekolah Nahdlatul Waton dan pernah belajar di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura. Dari pulau garam, ia melanjutkan sekolah di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, lalu memungkasi rihlah 'ilmiyah-nya di Makkah al-Mukarromah. 

Setelah pulang dari keliling Eropa, ia membuka warung di Jalan Sasak Ampel, Surabaya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah berdirinya NU oleh Kiai As'ad Syamsul Arifin, bahwa sebelum 1926, Kiai Hasyim Asy'ari telah berencana membuat organisasi Jami'iyah Ulama (Perkumpulan Ulama). Para kiai mengusulkan nama berbeda. Namun Kiai Mas Alwi mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Lantas Kiai Hasyim bertanya, "kenapa mesti pakai Nahdlatul, kok tidak jam'iyah ulama saja? Sayid Alwi pun menjawab, "karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam'iyah." 

Akhirnya para kiai menyepakati nama Nahdlatul Ulama yang diusulkan Kiai Mas Alwi. Seorang ulama berdarah Hadramaut, Yaman. Lantas siapakah sosok penting yang namanya jarang disebut dalam kancah pergerakan NU selama ini?

Penyelidik Isu Pembaharuan Islam

Kiai Mas Alwi adalah salah seorang pendiri NU bersama Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah, Kiai Ridlwan Abdullah, dan beberapa kiai besar lain. Mereka bergerak secara aktif di masyarakat sejak NU belum didirikan. Kiai Mas Alwi lah yang pertama mengusulkan nama Nahdlatul Ulama dalam versi riwayat keluarga Kiai Ridlwan Abdullah.

Namun nama Kiai Mas Alwi hampir jarang disebut dalam literatur sejarah NU. Apa sebabnya? Lantaran ia tidak memiliki keturunan dan dikeluarkan dari silsilah keluarga, sebagaimana yang akan tertulis di bawah ini. Hasil olah data dari karangan Ma’ruf Khozin, Wakil Katib Syuriyah NU Kota Surabaya dan Anggota LBM PWNU Jatim. Riwayat ini berdasarkan kisah langsung dari Gus Sholahuddin Azmi, putra Kiai Mujib Ridlwan dan cucu Pendiri NU, Kiai Ridlwan Abdullah (pencipta lambang NU) .

Memang tidak ada data pasti mengenai kelahiran Kiai Mas Alwi. Hanya ditemukan petunjuk dari kisah Kiai Mujib Ridlwan bahwa ketiga kiai yang bersahabat semasa (Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Mas Alwi), secara usia tidak terlalu jauh jaraknya. Pada masa awal NU berdiri (1926), usia Kiai Ridlwan 40 tahun, Kiai Wahab 37 tahun, dan Kiai Mas Alwi 35 tahun. Maka, Kiai Mas Alwi diperkirakan lahir pada sekitar 1890-an.

Ketiga Kiai tersebut, bukan sosok yang baru bersahabat ketika mendirikan sekolah Nahdlatul Wathon, namun jauh sebelum itu, ketiganya telah menjalin persaudaraan sejak berada di Pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan, Madura.

Kiai Wahab dan Kiai Mas Alwi adalah dua kiai yang sudah terlihat hebat sejak masih nyantri di pondok, terutama dari sisi kecerdasan dan kecakapannya sebagai santri. Bersama Kiai Ridlwan Abdullah, Kiai Wahab Chasbullah, dan saudara sepupunya, Kiai Mas Mansur, Kiai Mas Alwi turut membidani pendirian Nahdlatul Wathon. Saat itu, Kiai Mas Mansur menjabat sebagai kepala sekolah, sebelum terpengaruh pemikiran pembaharuan Islam di Mesir yang kemudian menjadi pengikut Muhammadiyah.

Mendalami Renaisans Islam

Saat merebak isu “Pembaharuan Islam” (Renaissance), Kiai Mas Mansur, adik sepupu Kiai Mas Alwi, mempelajarinya langsung pada Muhammad Abduh, rektor Universitas al-Azhar, Mesir. Maklum, Kiai Mas Mansur berasal dari keluarga yang mampu secara material, sehingga dapat mencari ilmu hingga ke Aleksandria (Mesir) sana. 

Kiai Mas Alwi yang bukan dari keluarga kaya pun, bertanyatanya tentang apa yang sejatinya dicari Kiai Mas Mansur hingga ke negeri Mesir. Padahal Renaissance (pembaharuan) itu berasal dari Eropa. Maka ia pun berusaha mengetahui apa sebenarnya Renaissance itu ke Eropa, melalui Belanda dan Prancis--dengan menggabungkan diri dalam pelayaran.

Pada masa itu, orang yang bekerja di pelayaran mendapat stigma buruk di masyarakat dan memalukan bagi keluarga. Sebab pada umumnya pekerja pelayaran selalu melakukan perjudian, zina, mabuk, dan tindak asusila lainnya. Sejak saat itulah keluarga Kiai Mas Alwi mengeluarkannya dari silsilah keluarga dan ‘diusir’ dari rumah.

Setelah Kiai Mas Alwi berhasil mendapat jawaban dari kegelisahannya, ia pun kembali ke Hindia Belanda. Setiba di tanah air, ia langsung dikucilkan oleh para sahabat, rekan sejawat, dan para tetangga. Tak patah arang, Kiai Mas Alwi membuka warung kecil di Jalan Sasak, dekat wilayah Ampel, demi memenuhi hajat hidupnya. Mengetahui ia telah pulang dari perantauan, Kiai Ridlwan pun datang menyambang. 

“Kenapa sampean datang ke sini, Kang? Nanti sampean dicuci pakai debu sama para kiai lain, sebab warung saya ini sudah dianggap najis mughalladzah?”

Kiai Ridlwan malah balik bertanya.

“Dik Mas Alwi, sebenarnya apa yang sampean lakukan sampai pergi berlayar ke Eropa?”

“Begini, Kang Ridlwan. Saya ingin memahami apa sih sebenarnya Renaissance itu? Lah, Dik Mansur mendatangi Mesir untuk mempelajari Renaissance itu salah, sebab tempatnya ada di Eropa. Coba sampean lihat nanti kalau Dik Mansur datang, dia pasti akan berkata begini, begini dan begini...” (maksudnya adalah kembali ke al-Quran-Hadits, tidak bermadzhab, tuduhan bid’ah dan sebagainya)

“Renaisans di Mesir itu sudah tidak murni lagi, Kang Ridlwan, sudah dibawa makelar. Lha orang-orang itu mau melakukan pembaharuan apa dalam tubuh Islam? Agama Islam sudah sempurna. Tidak ada lagi yang harus diperbaharui. Al-Quran dengan jelas menyatakan":


الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً 

“… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS. al-Maidah [5]: 3)


Inti dari perjalanan Kiai Mas Alwi ke Eropa adalah, Renaisans yang ada dalam dunia Islam adalah upaya pecah belah yang dihembuskan dunia Barat, khususnya Belanda dan Prancis. Kiai Ridlwan kembali bertanya.

"Dari mana sampean tahu?" 

“Karena saya berhasil masuk ke banyak perpustakaan di Belanda."

“Bagaimana caranya sampean bisa masuk?” 

“Dengan menikahi perempuan Belanda yang sudah saya Islam-kan. Dialah yang mengantar saya ke banyak perpustakaan. Untungnya saya tidak punya anak dengannya."

Setelah Kiai Mas Alwi membabarkan perjalanannya ke Eropa secara panjang lebar, maka Kiai Ridlwan berkata: “Begini, Dik Alwi, saya ingin menjadi pembeli terakhir di warung ini."

“Ya jelas terakhir, Kang Ridlwan, karena ini sudah malam."

“Bukan begitu. Sampean harus kembali lagi ke Nahdlatul Wathon. Sebab sudah tidak ada yang membantu saya sekarang. Kiai Wahab lebih aktif di Taswirul Afkar. Sampean harus membantu saya."

Keesokan pagi, sebelum Kiai Ridlwan sampai di Nahdlatul Wathon, ternyata Kiai Mas Alwi sudah tiba lebih dulu. Kiai Ridlwan yang masih kaget pun berkata: 

“Kok sudah ada di sini?”

“Ya, Kang Ridlwan, tadi malam ternyata warung saya laku dibeli orang. Uangnya bisa kita gunakan untuk sekolah ini."

Kedua kiai muda tersebut kemudian kembali membesarkan nama sekolah Nahdlatul Wathon.

Makam Kiai Mas Alwi

Sampai saat ini, belum ditemukan pula data tentang kapan Kiai Mas Alwi wafat, yang jelas, makam beliau terletak di pemakaman umum Rangkah, yang sudah lama tak terawat--bahkan pernah berada dalam dapur pemukiman liar yang ada di tanah pekuburan umum. 

KH Asep Saefuddin, Ketua PCNU Surabaya, pernah mengerahkan Banser guna menertibkan rumahrumah yang merambah ke makam Kiai Mas Alwi. Maka sejak saat itu, makam beliau mulai dibangun dan diberi pagar. Kini, setiap perhelatan Harlah NU, Pengurus Cabang NU Surabaya kerap mengajak MWC dan Ranting se-Surabaya untuk ziarah ke makam para Muassis, khususnya wilayah Surabaya.

Pertanyaan kita, mengapa beliau dikebumikan di pemakaman umum? Tak ada jawaban pasti. Kemungkinan terbesar, karena beliau telah dikeluarkan dari silsilah keluarganya.

Sebagian kecil Nahdliyin yang mengetahui fakta ini sempat mengusulkan agar makam beliau dipindah ke kawasan Ampel. Berita ini telah diterima oleh PCNU Surabaya dan akan ditindaklanjuti. Tetapi bila prosesnya menemukan jalan buntu, maka PCNU akan berencana memindah makam beliau ke kawasan makam Jl. Tembok, diletakkan di sebelah makam sahabatnya, Kiai Ridlwan Abdullah. 

Di area makam tersebut telah dikebumikan pula beberapa tokoh NU, di antaranya adalah; KH Abdullah Ubaid dan KH Thohir Bakri (dua tokoh pendiri Ansor), Kiai Abdurrahim (salah seorang pendiri Jamqur atau Jam'iyah Qurra’ wa l-Huffadz), Kiai Hasan Ali (Kepala logistik Hizbullah), Kiai Amin, Kiai Wahab Turham, Kiai Anas Thohir, Kiai Hamid Rusdi, Kiai Hasanan Nur, dan beberapa kiai lain.

Sosok besar yang nyaris terpendam dalam kuburan sejarah ini, telah menanggung risiko serius dengan dikeluarkan dari daftar keluarga sekaligus hak warisnya. Namun ia tetap melanjutkan tekadnya meneliti akar persoalan umat Islam saat itu hingga sampai ke Benua Biru. Sudah sepantasnya Muslim Indonesia harus menyertakan nama Kiai Mas Alwi saat nama para Muassis NU lain disebut. 

Semoga Allah mengganjar perjuangan Kiai Mas Alwi dan para Muassis NU sebagai amal jariyah mereka. Semoga Allah mengangkat derajat mereka dan memberi keberkahan kepada para pejuang NU saat ini, sebagaimana Allah telah melimpahkan keberkahan kepada mereka semua. Semoga juga Pemerintah saat ini tergerak menahbis Kiai Mas Alwi sebagai pahlawan bangsa Indonesia--setelah Kiai As'ad Syamsul Arifin--dari kalangan Nahdlatul Ulama. Amin ya Rabb l-'Alamin. Al-Fatihah... (Ren Muhammad)


Sumber : NU.OR.ID

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menginisiasi pertemuan para ulama sepuh dari seluruh Indonesia di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, Jawa Tengah, Kamis (16/3) mendatang. Sejumlah persoalan strategis dan tantangan ke depan menjadi fokus pembahasan dalam pertemuan bertajuk Silaturahim Nasional Alim Ulama Nusantara itu.

Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengungkapkan, tantangan Islam dalam kancah nasional dan internasional saat ini memiliki tantangan yang makin tidak mudah. Sebab itu, menurutnya, berbagai pandangan para kiai  dan ulama khos mempunyai peran penting untuk langkah NU di masa yang akan datang.

“Wajah Islam Indonesia yang ramah, sesungguhnya adalah bagian dari cermin sikap kemasyarakatan NU. Tugas kita kemudian bagaimana menggaungkan wajah Islam ala ahlussunnah wal jama’ah ini sebagai upaya untuk menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya kepada dunia global,” ujar Gus Yahya, Kamis (9/3) di Jakarta.

Untuk menjawab tantangan dan harapan dunia tersebut, tambahnya, penting bagi PBNU untuk mendengar pandangan-pandangan dari para ulama sepuh. Petuah dan nasihat-nasihat dari para ulama khos sangat dibutuhkan dalam menentukan langkah strategis NU sebagaimana yang diharapkan dunia ke depan.

“Sekali lagi, NU harus sungguh-sungguh mempersiapkan diri. NU harus menyambut dan menyiapkan peran terhormat ini dengan lebih baik. mungkin ini sudah menjadi amanat agung dari Allah SWT,” tukas salah seorang putra KH Cholil Bisri ini.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menerangkan, dalam menggerakkan roda organisasi, NU tidak akan lepas dari kebijaksanaan para kiai sepuh. Nasihat dan pandangan para kiai tersebut diperlukan agar NU berkah dan semakin bermaslahat untuk umat.

"Pengurus PBNU dan Nahdliyin mengharap nasihat, irsyadat (arahan), taujihad (petunjuk) dari para sesepuh, agar NU ke depan semakin bermanfaat," jelas Kiai Said.

Adapun para ulama yang Insyaallah hadir antara lain:

• KH. Maemoen Zubair dari Sarang
• KH. Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang
• KH. Ma’ruf Amin, Tanara, Banten
• Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan
• KH. Nawawi Abdul Jalil dsari Pasuruan
• KH. Dimyathi Rois Kaliwungu, Jawa Tengah
• TGH. Turmudzi Badaruddin dari Bagu, NTB
• KH. Abuya Muhtadi Dimyathi dari Pandeglang, Banten
• KH. Muhammad Sanusi Baco dari Maros, Sulawesi Selatan
• KH. TK. Bagindo M. Letter dari Sumatera Barat
• Tengku H. Muslim Ibrahim dari Provinsi Aceh
• Abah Guru Zuhdiannor Martapura, Kalimantan Selatan
• dan ulama-ulama lainnya.

(Fathoni)



Sumber : NU.OR.ID

Jombang, NU Online
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) jadi salah satu tokoh inspirator bagi Walikota Bandung Ridwan Kamil. Sebagai Pemimpin, Gus Dur berhasil menyajikan Islam sebagai agama yang ramah dan memperjuangkan hak-hak kemanusiaan yang banyak mengilhami dirinya serta banyak orang.

Hal ini disampaikan Ridwan Kamil, menjawab pertanyaan santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang  perihal siapa tokoh yang menginspirasi Walikota muda ini sehingga menjadi pemimpin dan banyak dikenal orang.

"Selain ibu saya, banyak tokoh- tokoh besar dunia yang menjadi inspirator saya, antara lain Nabi Muhammad SAW, Soekarno, Mahatma Gandhi, dan juga Gus Dur," paparnya, Rabu (8/3).

Pada kunjungannya ke Pesantren Tebuireng Jombang kali ini Ridwan Kamil memberikan motivasi tentang nilai-nilai kepemimpinan di hadapan ratusan santri. Paparan konsep pemerintahan Kota Bandung. Mulai pengelolaan tata kota hingga kisah pribadi dan keluarganya yang disajikan dengan teknologi digital kepada santri.

"Intinya, saya ingin menyemangati mereka (santri- santri) soal kepemimpinan, agar santri menjadi paham kondisi, karena mereka adalah calon pemimpin masa depan," tambah pria yang akrab disapa Kang Emil ini.

Keberhasilan dan kendala dalam  memimpin Kota Bandung dipaparkan secara gamblang oleh Ridwan Kamil selama hampir dua jam kepada ratusan santri Tebuireng. Temasuk perubahan signifikan Kota Bandung setelah ia melakukan perubahan-perubahan kebijakan dan reformasi birokrasi. 

Usai menerima cinderamata dari Pesantren Tebuireng, Ridwan Kamil juga melakukan tabur bunga di atas pusara pendiri NU KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, serta pusara Presiden ke-4 Republik Indonesia, Almarhum KH Abdurrahman Wahid. (Muslim Abdurrahman/Fathoni)


Sumber : NU.OR.ID


Oleh A. Khoirul Anam

Guru besar kita ini mengaku terkejut ketika Syntia, karyawati bank swasta bersuara cantik yang menghubunginya lewat telepon itu ternyata berjilbab. Syntia bekerja di bank internasional swasta yang beraliran liberal, bukan bank syariah. Yang membuat sang guru besar terkejut sebenarnya bukan karena Syntia berjilbab, tapi karena nama "Syntia" itu. "Kalau nama Anda Nur Hasanah atau sejenisnya mungkin saya maklum," katanya.

Sang guru besar melanjutkan cerita, masih soal perempuan yang menghubunginya lewat telepon. Namanya Tiara. Ia bekerja sebagai guest booker di salah satu media nasional. Ketika sang guru besar hadir memenuhi undangan sebagai narasumber, Tiara menyambutnya di loby gedung. Ternyata Tiara juga berjilbab.

Tiara bekerja di media nasional yang oleh sebagaian orang diidentikkan dengan medianya orang Katholik. Tahun 1980-an beberapa karyawan media ini mengundurkan diri karena tuntutan mereka untuk disediakan musholla di kantor tidak dikabulkan. Sekarang, bukan hanya setiap lantai kantor menyediakan tempat shalat, tapi banyak sekali wartawan dan karyawan kantornya yang lalu lalang mengenakan jilbab.

Masih soal jilbab. Orang Barat mengidentikkan jilbab sebagai urusan domestifikasi. Dengan jilbab itu perempuan dikungkung di rumah. Mungkin orang Barat melihat Saudi Arabia atau sebagian negara muslim di Timur Tengah. Tapi di Indonesia, perempuan-perempuan berjilbab mengambil banyak peran di ranah publik. 

Banyak sekali perempuan Arab yang segera melepas jilbab dan berbagai penutup tubuh mereka yang membuat gerah ketika mereka berada di mobil, di pesawat, di tempat wisata, bepergian keluar daerah atau tempat lain yang sudah tidak menerapkan peraturan wajib jilbab. Di Indonesia, perempuan tetap memakai jilbab dimana pun, bahkan ketika pergi ke pasar, mall, ke Hongkong atau ke New York. Jilbab dikenakan kapan pun selama berada di tempat umum. Jilbab adalah ekspresi keislaman perempuan Indonesia, itu saja.

Tentu saja sang guru besar tidak sedang ingin membicarakan jilbab saja, tapi lebih luas soal gaya hidup Islami yang sekarang ini dipertontokan para profesional muslim di Indonesia. Bukan saja soal busana, kata "assalamualaikum" atau "alhamdulillah" dan istilah-istilah Islami lainnya juga beredar di tempat-tempat umum dan di media sosial.

Para pakar kependudukan saat ini sedang ramai membicarakan soal bonus demografi, yakni besarnya penduduk Indonesia yang berusia produktif. Ini berbeda dengan Jepang misalnya yang penduduk berusia lanjutnya besar sekali. Nah sang guru besar kita ini lebih fokus membicarakan bonus demografi muslim. Keberhasilan dakwah para penyebar Islam di Indonesia telah menyebabkan mayoritas penduduk beragama Islam, bahkan terbesar dibandingkan dengan jumlah warga muslim di berbagai negara. 

Setelah Indonesia mengalami bonus demografi, umat Islamlah sebenarnya yang mengalami bonus itu. 85 persen warga Indonesia beragama Islam dan sebagian besar sudah mengalami mobilitas sosial yang luar biasa terutama melalui jalur pendidikan, baik lewat jalur Kemendikbud atau Kemenag. Kata sang guru besar, persebaran para profesional muslim di berbagai pos penting dan berbagai bidang keahlian itu tidak bisa dihalangi oleh siapapun.

Jadi, apakah yang membuat Anda risau jadi warga muslim Indonesia, lalu membuat ribut-ribut?

Penulis adalah Dosen UNU Indonesia (Unusia) Jakarta, Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Sumber : NU.OR.ID

Imam al-Muzani (175-264 H) merupakan santri langsung dari Imam Al-Syafi'i. Imam Syafi'i menyebutnya sebagai "pembela mazhabku". Beliau menuliskan kitab Mukhtashar yang tersebar luas sebagai panduan ringkas memahami mazhab Syafi'i. Setelah menulis Bismillahirrahmanirrahim, Imam Muzani memulai kitabnya dengan kalimat

‎اخْتَصَرْت هَذَا الْكِتَابَ مِنْ عِلْمِ مُحَمَّدِ بْنِ إدْرِيسَ الشَّافِعِيِّ - رَحِمَهُ الله

Kalimat di atas bermakna penegasan bahwa apa yang dia tulis dalam satu jilid kitab ini hanyalah merupakan ringkasan dari apa yang beliau pelajari dari Imam Syafi'i.
Ini adalah tawadhu' seorang santri kepada sang kiai.

Seratus tahun kemudian, seorang ulama terkenal dari Mazhab Syafi'i yang bernama al-Mawardi (362-448 H) menulis kitab al-Hawi al-Kabir berisikan 20 jilid yang memberi syarh (penjelasan) atas kitab Mukhtashar Muzani. Imam al-Mawardi ini seorang Ketua Mahkamah Agung yang menulis kitab tafsir al-Nukat wa al-'Uyun dan tentu saja yang sangat terkenal yaitu kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah.

Imam al-Mawardi memulai kitab al-Hawi al-Kabir dengan menuliskan lafaz basmalah, kemudian doa "Allahumma yassir wa a'in Ya Karim" kemudian mengucapkan hamdalah. Setelah itu beliau mencantumkan pembelaan dari mereka yang menyerang Imam Muzani. Apa pasal?

‎ابْتَدَأَ الْمُزَنِيُّ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ فِي كِتَابِهِ فَاعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِيهَا مِنْ حُسَّادِ الْفَضْلِ مَنْ أَغْرَاهُمُ التَّقَدُّمُ بِالْمُنَازَعَةِ، وَبَعَثَهُمُ الِاشْتِهَارُ عَلَى الْمَذَمَّةِ، وَكَانَ مِمَّنِ اعْتَرَضَ عَلَيْهِ فِيهَا  النَّهْرُمَانِيُّ  وَ  المغربي  و  القهي  وَأَبُو طَالِبٍ الْكَاتِبُ، ثُمَّ تَعَقَّبَهُمُ ابْنُ دَاوُدَ فَكَانَ اعْتِرَاضُهُمْ فِيهَا مِنْ وُجُوهٍ؛ فَأَوَّلُ وُجُوهِ اعْتِرَاضِهِمْ فِيهَا أَنْ قَالُوا: لِمَ لَمْ يَحْمَدِ الله تعالى
‎تَبَرُّكًا بِذِكْرِهِ وَاقْتِدَاءً بِغَيْرِهِ، وَاتِّبَاعًا لِمَا رَوَاهُ الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -  قَالَ: كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَمْ يُبْدَأْ فِيهِ بِحَمْدِ اللَّهِ فَهُوَ أَبْتَرُ .

Rupanya menurut para "haters" --meminjam istilah yang tren di medsos saat ini-- mengapa Imam Muzani tidak memulai kitab Mukhtashar dengan kalimat hamdalah padahal menurut satu riwayat Hadis Nabi dari Auza'i: "semua perkerjaan penting yang tidak dimulai dengan Alhamdulillah akan terputus (dari rahmat Allah)."

Sisi tawadhu' Imam Muzani dalam kalimat pembuka kitabnya justru dipersoalkan. "Haters" telah memelintirnya dengan menganggap kitab ini tidak barakah. Ketimbang mengulas isi kitabnya, mereka malah menyerang kalimat pembukanya. Di sinilah Imam al-Mawardi membela Imam al-Muzani dengan memberikan lima jawaban.

Pertama, kalau pertanyaan kepada Imam Muzani itu merupakan pekerjaan penting, mengapa pula yang bertanya tidak memulainya dengan hamdalah, dan kalau tidak penting mengapa pula harus dibahas?!

Kedua, meninggalkan hamdalah itu keliru, tapi Imam Muzani tidak keliru karena beliau hanya tidak menuliskan lafaznya saja di awal kitab, bukan berarti meninggalkan puji-pujian kepada Allah sama sekali. Imam Muzani bahkan shalat dua rakaat setiap selesai menulis satu bab --indikasi Imam Muzani tidak melupakan koneksi dengan Allah.

Ketiga, lafaz hamdalah tidak ditulis di awal kitab, tetapi tetap ditulis oleh Imam Muzani dalam bagian lain kitabnya. Beliau menulis: "Alhamdulillahilladzi la syarika lahu, alladzi huwa kama washafa wa fawqa ma yasfihu bihi khalquh...."

Keempat, menurut Imam al-Mawardi yang dimaksud mengucapkan hamdalah itu intinya adalah mengingat Allah, dan ini sudah terwakili oleh Imam Muzani ketika memulai kitabnya dengan Bismillahirrahmanirrahim.

Kelima, konteks Hadis memulai dengan hamdalah itu adalah saat berkhutbah, bukan menulis kitab. Kalau diartikan harus memulai dengan hamdalah di semua hal maka menurut Imam Mawardi wahyu pertama yang Nabi Muhammad terima saja ayat Iqra' bukan dimulai dengan hamdalah. Apa mungkin kemudian antara ucapan dan perbuatan Nabi saling bertentangan dan apa berani kita mengatakan al-Qur'an itu terputus dari rahmat Allah karena ayat pertamanya bukan diawali dengan hamdalah? Dan lagipula kalau benar yang tidak memulai hamdalah pada kitabnya akan terputus dari rahmatNya, nyatanya kitab yang ditulis Imam Muzani ini sangat terkenal dan bermanfaat dibanding yang lainnya.

Demikian pembelaan Imam al-Mawardi. Saya hendak menambahi bahwa serangan semacam itu bukan hanya dialami Imam Muzani tapi juga dialami oleh Imam Bukhari. Dalam Kitab Fathul Bari yang men-syarh kitab Shahih Bukhari dikupas bagaimana Imam Bukhari yang memulai kitabnya dengan menulis Bismillahirrahmanirrahim mendapat serangan dari pihak lain. Mereka mempersoalkan kenapa tidak memulainya dengan hamdalah. Ibn Hajar kemudian memberikan pembelaannya terhadap Imam Bukhari.

Kembali kepada serangan terhadap Imam Muzani, pertanyaannya siapa sih yang mengkritik beliau soal hamdalah ini? Imam Mawardi menyebut beberapa nama di antaranya al-Nahrumani dan al-Maghribi. Jelas ini hanya nickname bukan nama lengkap. Jadi siapa para "haters" itu? Mungkin pada masa Imam al-Mawardi kedua panggilan ini sudah mafhum diketahui. Tapi kita yang hidup 900 tahun kemudian tentu bertanya-tanya.

Pelacakan saya untuk al-Nahrumani itu boleh jadi nama lengkapnya Najmuddin Muhammad al-Shalihi al-Nahrumani, yang merupakan Ulama mazhab Hanbali ( Wahabi juga mengklaim bermadzhab Hambali ). Bagaimana dengan al-Maghribi? Kemusykilannya biasanya kitab-kitab mazhab Syafi'i menyebut al-Maghribi itu kepada Ibn Hazm al-Andalusi dari mazhab Zhahiri. Ada kemungkinan yang dimaksud al-Maghribi dalam kitab al-Mawardi ini adalah al-Husain bin 'Ali bin al-Husain al-Wazir Abul Qasim yang wafat tahun 418 H sebelum masanya al-Mawardi. Benar atau tidaknya, ya meneketehe lah hehe...

Nah, pelajaran penting: dunia pengetahuan hanya akan mengenang mereka yang berkarya. Para "haters" yang biasanya hanya mengkritik dan tidak melahirkan karya penting dan berkualitas mereka akan dilupakan sejarah. Ratusan tahun kemudian anak cucu kita akan kesulitan melacak siapa mereka. Karena itu jangan hiraukan "haters", teruslah kita produktif berkarya dan sejarah akan mencatat karya dan pengabdian kita. Insya Allah!

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber : Page FB Generasi Muda NU


Rabu, 08 Maret 2017

Pada hari Senin (6/3) saya bersama Pemkab, BBPJN dan Dirjen Binamarga Kementrian PUPR, Bapak Arie Setiadi melakukan safari infrastruktur berkala di Trenggalek. Lokasi pertama yang kami tinjau adalah jalan amblas di KM 18 Raya Trenggalek – Ponorogo. Hal ini telah diantisipasi cepat dengan memasang bronjong batu sepanjang 300 meter di sisi jalan sebagai penahan tanah, agar keretakan tanah tidak semakin parah. Sementara dalam menangani kondisi tebing jalan di Raya Trenggalek – Ponorogo, kami sangat serius dan berhati-hati dengan memastikan kondisi tanah terlebih dahulu. Yaitu dengan mendalami geoteknik tanah di lokasi, untuk mendapat dasar penyusunan Detailed Engineering Design (DED), yang dilakukan demi mengambil penangan yang tepat.

Kami juga meninjau lokasi rencana pembangunan Jalur Lintas Selatan (JLS)/Pansela di ruas Trenggalek yang pada 2017 pembangunannya direncanakan akan menghubungkan Kec. Munjungan dengan Kec. Watulimo. Keseluruhan pembangunan JLS ini ditargetkan oleh Kementerian PUPR akan rampung pada 2019. Pemkab Trenggalek juga telah membantu menyelesaikan proses penataan lahan dengan Kementerian Kehutanan. Saya beserta Pemkab pun mengucapkan terima kasih kepada Pak Dirjen yang telah berkenan meninjau langsung kegiatan Direktorat Bina Marga di Trenggalek.

Masyarakat Trenggalek yang saya cintai, peribahasa berat sama dipikul, ringan sama dijinjing tentu menjadi filosofi dalam pembangunan Trenggalek. Dana pembangunan infrastruktur yang sempat terkendala kini didukung dana pinjaman Islamic Development Bank. Semua terwujud karena doa, usaha, koordinasi dan kerja sama masyarakat, Pemkab dengan berbagai pihak. Insya Allah, kami tidak mempunyai hambatan lain dan akan fokus menentukan desain optimal untuk efisiensi dan klasifikasi dari JLS ini nantinya.

Foto: Humas Trenggalek
Sumber : Page FB Emil Elistanto Dardak


SURABAYA | duta.co –  Bukan hanya Banser dan GP Ansor yang sibuk menolak dai-dai wahabi takfiri. Pemuda Muhammadiyah juga memiliki sikap yang sama. Demi menjaga persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI), dai-dai takfiri, yang menanggap dirinya paling benar, suka menjelek-jelekkan kelompok lain, itu harus ditolak.

“Ini membahayakan persatuan umat, membahayakan kelangsungan NKRI. Situasi harmoni, damai, santun yang dimiliki bangsa ini harus dijaga betul. Para dai jangan hanya sibuk bicara furuiyah, menjelek-jelekkan, atau bahkan mengkafirkan kelompok lain. Kalau itu yang terjadi, umat pasti menolak,” kata Sholikhul Huda, Ketua  Bidang Dakwah dan Pengkajian Agama Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM), Jawa Timur, kepada duta.co Rabu (08/03/2017).

Ketua Pusat Studi KH Mas Mansur Surabaya yang, kini sibuk meneliti keterkaitan Kiai Mas Mansur dengan Mbah Wahab (tokoh NU) tersebut, mengatakan,  bahwa, penolakan dai-dai takfiri itu seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh dai kita. Dengan begitu mereka tidak sembarangan berbicara. “Dia sekarang harus berpikir maju, memiliki referensi yang benar, bukan merasa paling benar,” tambahnya.

Kalau gerakan penolakan GP Ansor mencuat saat menghadapi Khalid Basalamah di Sidoarjo, warga Muhammadiyah juga sibuk menolak pengajian Firanda Andirja di Malang. Firanda sendiri masuk daftar dai-dai wahabi yang dinilai suka menjelekkan bahkan menuduh kafir kelompok lain.

Berita di situs resmi Muhammadiyah, pwmu.co, menurunkan artikel tentang kerukunan umat Islam di Malang yang mendapatkan ujian ketika DR Firanda  Andirja datang ke kota ini. Salah seorang pengajar di Masjid Nabawi itu dijadwalkan berbagi ilmu di Masjid Ahmad Yani. Namun, akhirnya dibatalkan untuk sementara waktu, karena ada penolakan dari masyarakat.

“Masjid Ahmad Yani yang semula mengagendakan kajian dengan Ustadz Firanda dengan tema ‘Mensyukuri Nikmat Aman di NKRI’, pada pukul 08.30–11.15 WIB,” cerita ujar DR Zainul Mujahid kepada pwmu.co  tentang jadwal bertanggal 5 Maret 2017 itu.

Namun, kata Zainul Mujahid, karena Firanda sudah berada di Malang, maka acara dipindah ke Masjid Manarul Islam, Sawojajar. Di sini pun keberadaan Firanda masih dimonitor. “Maka kami segera merapatkannya bersama takmir, yayasan, dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Sawojajar,”  ujar Zainul Mujahid.

Begitu mendengar Ustadz Firanda akan melaksanakan salat Subuh di Masjid Manarul Islam, masih kisah Zainul, takmir langsung mempersiapkan segala sesuatu dalam rangka menghormati  tamu itu. Termasuk menggeser jadwal kajian Subuh agar diserahkan kepada Ustadz Firanda.

“Akhirnya, diagendakanlah kajian Subuh oleh ustadz Firanda sebagai bentuk penghormatan pada orang alim yang bertamu. Dan, undangan pun disebar lewat media sosial,” tambah Zainul sambil menyatakan info lokasi salat Subuh Firanda ini didapat setelah Maghrib yang kemudian disebar via WhatsApp.

Namun, malam hari Sabtu atau Ahad dini hari, beberapa orang kepemudaan mendatangi takmir masjid. Mereka meminta agar acara kajian Subuh itu dibatalkan dengan alasan pengisinya adalah pembawa misi Wahabi.

Terjadilah perdebatan antara dua komponen yang ingin melanjutkan dan membatalkan acara kajian, terutama kaum mudanya. Untuk meredam adu mulut yang memanas, DR Dwi Agus Sujimat, berusaha menengahinya. Tim Ahli Majelis Ekonomi Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang itu dengan lembut mengatakan bahwa hubungan antarumat Islam harus dibangun atas dasar kebaikan, bukan dengan permusuhan.

“Demi menjaga ukhuwah Islamiyah dan memohon keridlaan dari Allah SWT, maka acara ini dipending dulu,” jelas Zainul.

Karena pembatalan itu sangat mendadak, maka subuh hari Ahad itu pun, masjid dipenuhi dengan para jamaah. Baik dari dalam maupun kota Malang. Mereka berjubel di dalam masjid itu untuk mendirikan salat Subuh berjamaah plus Kajian Subuh.

Untuk menjaga situasi tetap kondusif dan ukhuwwah islamiyyah terjaga, akhirnya Ustadz Firanda yang sebenarnya sudah berada di sekitar masjid itu pun tidak jadi mengisi Kajian Subuh.

“Hikmah yang diambil dari kejadian ini, justru semalam kami bisa dialog langsung dengan para tokoh NU dan para Habaib. Kami sharing banyak hal, termasuk memberikan pemahaman pada mereka. Kami sekarang terus menjalin komunikasi dengan baik agar ada kesepahaman bersama,” lanjut Zainul tentang hikmah tersembunyi di balik penolakan itu. (mky,pwmu)

Sumber : Page FB Generasi Muda NU


Oleh : KH. Ubaidillah Shodaqoh (Rois Syuriah PW. NU Jawa Tengah)
Sebagai Nahdliyyin saya sering bersentuhan dengan Banser. Pengajian rutin, akbar, karnaval, penanggulangan bencan, mantu sampai parkirpun mereka terlibat. Dus saya sebagai warga negara merasa kapiran kalau tidak ada Banser.
Saya sering iseng menggoda mereka dengan meminta rokok. " mas minta rokoknya mas ." Kataku. Mas Banser inipun meraba-raba kantongnya di baju tebal seragamnya. Satu menit kira-kira dia baru berhasil mengeluarkan bungkusan rokok. Ketika disodorkan padaku ternyata tinggal dua batang yang sudah bengkong hampir putus karena tertekan-tekan dalam kantong sempitnya. Itupun JISAMSU yang dapat dihisap sampai batas maksimal karena tidak berfilter.
Aduh.. gagah-gagah demikian rokoknya eceran. Betul juga guyonan KH. Hasyim Muzadi. Mereka hanya mampu membeli rokok eceran. Dalam acara-acara pengajian dan lainnya merekapun diberi konsomsi paling ahir. Yah kalau snak dan makanan besar sudah cukup untuk tamu2 dan jamaah tentunya. Kalau tidak ya makan seadanya.
Pernah ketika saya ndereake pak Kyai di kabupaten Semarang. Dijemput delapan Banser yang menaiki empat motor. Ada yang Gendut, gagah tapi motornya bebek kuno yamaha. Untuk melancarkan perjalanan kyaiku empat pembonceng membawa peluit satu-satu. Mereka meniup bergantian untuk menyibak kemacetan jalan. Yah jangankan sirine,, sumpritan saja kayaknya sudah berkarat.
Bayangkan,, malam mengawal dan mengamankan acara, pagi mereka harus bekerja mencari nafkah. Ada tukang panggul, buruh tani, buruh pabrik, guru, tukang batu atau kuli batu. Demi khidmah pada guru dan kyai mereka rela berpayah-payahan. Mungkin dirumahnya hanya tersedia beberapa liter beras saja. Tapi juga ada dosen, pedagang, dan bahkan doktor yang golongan ini sebagai pendonor cigaret atau jajan mereka.
Selama ini kemanapun saya blusukan di Jateng selalu menjumpai Banser. Setiap keramaian di pantura maupun jawa bag selatan. Dalam penanggulangan bencana. Masyaalloh tanpa upah tanpa bayaran mereka berkhidmah pada masyarakat dilapisan apapun.
Hah... kalau sejarah perjuangan membela negara janganlah bertanya lagi. Cikal bakalnya selalu aktif melawan penjajah. Apalagi masa revolusi 65. Betapa besar jasanya meskipun setelah lahir orde baru mereka digencet segencet-gencetnya, namun tak melawan tak mengeluh, tetap berkhidmah pada masyarakat.
Kini ketika NKRI terancam, merekapun tak mau bertumpang dagu pura2 dungu. Nahi munkar dengan mencegah provokator kerukunan umat yg berkoar-koar di masjid. Mereka tidak tega ulamaknya diperolok2 dan dijelek-jelekkan sebagai ahli bidah. Mereka tidak rela Pancasila sebagai kesepakatan ummat dilecehkan. Bukan hanya rokok dua gelintir taruhannya, tapi juga nyawa mereka.
Hah anehnya, pak Prof Mahfud sang guru besar yang dikagumi mereka malah melihat sinis. Menyayangkan mereka dan dikabarkankan di seantero dunia lewat tweetnya. Aduh kasian kang-kang banser. Jasamu tak terlihat dari penggede2 jakarta yang selama ini kita tokohkan. Tapi saranku jangan surut,,, penghargaan Gusti Alloh taala jauuuuhhhhhhhh lebih besar dari pujian seorang pengamat. Lillahi ta'ala lillahi taala.
Semoga amalmu diterima oleh Gusti Alloh,,, dan rizqimu lancar sehingga dapat memondokkan atau menyekolahkan anakmu sampai jadi profesor, dan yang jelas semoga rokokmu tidak dibeli dengan harga eceran.
Dikutip dari Berbagai Sumber

Selasa, 07 Maret 2017

Pelaksanaan shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut?

Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُـنْـتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9).

Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari

عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)

Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang (Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916).

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.

وَيُسَنُّ اَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٌ قَبْلَ الْفَجْرِ وَاَخَرُ بَعْدَهُ فَاِنِ اقْتَصَرَ فَاْلاَوْلَى بَعْدَهُ وَاَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ اَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَاْلاَخَرُ الَّذِى قَبْلَهُ (فتح المعين 15)

Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya. (Fathu al-Mu’in, hal.15)

Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.  Wallohu a'lam bis shawab.



Link Asal :
http://www.facebook.com/groups/382134218524606/permalink/465522383519122/


Sumber :
http://fiqhsalafiyyach.blogspot.com/2013/03/adzan-dua-kali-sebelum-shalat-jumat.html?m=1


Jumhur (mayoritas) ulama fiqh mengatakan bahwa sunnah hukumnya khatib memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصَى. وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُعْتَمِدًا عَلَى عُنْزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَالِكَ اِعْتِمَادًا. أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَناَ إِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عُنْزَتِهِ اِعْتِمَادًا
t;


Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)

عَنْ شُعَيْبِ بْنِ زُرَيْقٍ الطَائِفِيِّ قَالَ شَهِدْناَ فِيْهَا الجُمْعَةَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَا أَوْقَوْسٍ 


Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka  Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824). 


As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)

فَإِذَا فَرَغَ المُؤَذِّّنُ قَامَ مُقْبِلاً عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ لاَ يَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً وَيُشْغِلُ يَدَيْهِ بِقَائِمِ السَّيْفِ أَوْ العُنْزَةِ وَالمِنْبَرِ كَيْ لاَ يَعْبَثَ بِهِمَا أَوْ يَضَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى الآخَرِ 


Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)


Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitabSubulus Salam, juz II, hal 59).

Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah. Wallahua’lam bishshawab.



H.M.Cholil Nafis, MA.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU


Sumber : NU.OR.ID

SUPPORTED BY

MUTIARA HIKMAH

“Ingatlah.. Allah selalu memberikan kelebihan dibalik kekurangan. Allah selalu memberikan Kekuatan dibalik kelemahan.”

“Ketika perjalanan hidup terasa MEMBOSANKAN. Maka Allah menyuruh kita untuk banyak BERSYUKUR.”

“Ketika kesedihan menjatuhkan AIR MATA Maka Allah meminta kita untuk berusaha TERSENYUM .”

“Kegagalan dalam hidup merupakan salah satu proses untuk menuju sukses.”

TERJEMAHKAN

Diberdayakan oleh Blogger.

NU PEDULI

INFO KARTANU ATM

POST ANSORUNA

ARSIP ANSORUNA

PEPELING

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Luqman: 34)