Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh, Selamat Datang di Blog-SITE "PIMPINAN RANTING GERAKAN PEMUDA ANSOR GEMAHARJO" Kec. Watulimo Kab. Trenggalek. Semoga Bermanfaat Untuk Kita Semua. Aamiin

Sabtu, 04 Februari 2017

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selalu berhasil menyegarkan suasana yang kaku menjadi cair dengan humor khasnya yang mencerdaskan.

Tak heran setiap memberikan ceramah di berbagai tempat, masyarakat selalu penasaran dengan banyolan barunya selain memetik banyak hikmah dari ceramahnya itu.

Pertama kali melontarkan anekdotnya terkait tingkah laku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menurutnya seperti anak TK, masyarakat mengamini sembari tertawa geli.

Namun  belakangan, Gus Dur meningkatkan level penilaiannya terhadap mereka yang menyatakan bahwa Anggota DPR bukan lagi seperti anak TK, tetapi ‘meningkat’ seperti anak-anak Playgroup seiring makin parahnya tingkah mereka. 

Penilaian terhadap tingkah pola Anggota DPR tidak berhenti sampai di situ. Gus Dur juga memberikan anekdot segar ketika memperhatikan banyak mobil mewah Anggota DPR yang setiap hari berjejer di dalam maupun di luar gedung.

“Persis seperti show room mobil-mobil mewah. Mobil jenis apapun dengan harga fantastis ada di sana,” kata Gus Dur dengan tawa khasnya. 

(Fathoni Ahmad) 


Sumber : NU Online

Jumat, 03 Februari 2017

Rembang, NU Online 
Mustasyar PBNU KH Maimoen Zubair yang sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini selalu dinanti nasehat dan bimbingannya oleh warga Nahdliyin dan khalayak. 

Kiai karismatik yang lahir di Rembang bertepatan dengan dicetuskannya hari Sumpah Pemuda itu, Kamis (2/2) lalu mengungkapkan tentang warga Nahdliyin dan masa remajanya bersama NU. 

Putra pertama KH Zubair Dahlan yang merupakan salah satu tokoh pejuang NU bersama KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah ini menceritakan kecintaannya terhadap NU yang tumbuh sejak masa remaja. 

"Sebelum saya di PBNU tahun 1990. Saya mulai di NU tahun 1950 sebagai kader IPNU, tahun 1960  di Ansor, terus tahun 1970 di NU Cabang," terang Mbah Moen sapaan akrabnya kepada NU Online di Rembang, Jawa Tengah. 

Pada tahun 1980, lanjut Mbah Moen, ia masuk di kepengurusan PWNU Jawa Tengah, tahun 1990 di PBNU sebagai Rais sampai kepada Thariqat. 

"Kemudian saya pensiun sebentar di tahun 2000, dan masuk lagi menjadi Mustasyar PBNU hingga sekarang," ungkapnya. 

Sebelum Mbah Moen menceritakan tentang masa remajanya bersama NU. Ia lebih dulu menjelaskan tentang siapa warga Nahdliyin. Menurutnya, sejak dahulu sudah ada anggota Nahdliyin secara alami dan organisasi. 

"Anggota organisasi yaitu yang tercatat sebagai anggota, sedangkan yang alami adalah mereka yang mengikuti para ulama," terangnya. (Aan Ainun Najib/Zunus)


Sumber : NU Online

Langkah kakinya pendek-pendek. Tatapan matanya sering ke arah depan. Jarang menunduk dan menengadah. Selalu tampak tersenyum. Egaliter dan dialogis. Tak menonjolkan diri sebagai tokoh penting di organisasi massa Islam terbesar negeri ini. Itulah KH Ma'ruf Amin.

Kiai Ma'ruf adalah Rais Am PBNU periode 2015-2020 sekaligus Ketua Umum MUI periode 2015-2020. Dua posisi puncak yang dijabat secara sekaligus ini jarang dimiliki banyak orang. Ulama yang mendapatkan posisi yang sama sebelum Kiai Ma'ruf adalah KH MA Sahal Mahfudh, rahimahu Allah.

Namun, dalam konteks NU, tak seperti para Rais Aam PBNU sebelum-sebelumnya yang semuanya tinggal di daerah, Kiai Ma'ruf tinggal di jantung ibu kota negara, Jakarta. Karena itu, ia mudah diakses oleh media. Ia bisa diwawancara kapan saja. Terlebih beliau ngantor hampir tiap hari; Senin-Selasa di Kantor MUI, Rabu-Kamis di kantor PBNU.

Penting diketahui, Kiai Ma'ruf ini bukan tipe kiai yang suka berdiri di belakang sebagai penjaga gawang. Jika diperlukan, beliau tak ragu maju ke depan, memimpin "serangan". Ini karena beliau mengerti arah mata angin. Hampir separuh usianya memang dihabiskan di dunia politik. Pernah menjadi anggota lembaga legislatif, dari tingkat bawah hingga pusat.

Aktivitasnya di ranah politik praktis ini yang menyebabkan sebagian orang lupa bahwa Kiai Ma’ruf adalah seorang ahli fikih yang terampil. Para pelajar Islam belakangan tampaknya jarang mendengar noktah-noktah pemikiran keislamannya yang brilian. Padahal, hemat penulis, jika mau ditelusuri jejak akademiknya, Kiai Ma'ruf ini memiliki peran cukup signifikan dalam meletakkan fondasi pembaharuan pemikiran Islam terutama dalam NU.

Dulu ketika NU diserang sebagai organisasi tempat berhimpunnya para muqallid, Kiai Ma'ruf bersama para koleganya seperti Kiai Sahal, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Maimoen Zubair, Kiai Imron Hamzah, dan Kiai Wahid Zaini membuat sejumlah terobosan penting. Salah satunya adalah dibukanya pintu istinbath dan ilhaq dalam tubuh NU. Ini sudah dikukuhkan dalam keputusan Munas NU di Lampung, 21-25 Januari 1992.

Saat itu resistensi dari sejumlah kiai bermunculan. Menurut para kiai yang kontra, kerja istinbath dan ilhaq itu adalah kerja akademik para mujtahid seperti para imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad ibn Hanbal) atau sekurangnya para ulama madzhab setingkat Imam Nawawi dan Imam Rofi'i. Dan menurut mereka, di NU hingga sekarang tak ada kiai yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid. Karena itu, tawaran istinbath dan ilhaq itu tak relevan bagi NU.

Penolakan itu terus menggema, dari dulu bahkan hingga sekarang. Tapi tak ada langkah mundur dari Kiai Ma'ruf dkk. Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian. Hingga pidatonya dalam harlah NU ke 91 kemarin, Kiai Ma'ruf masih menegaskan posisi akademik yang sama, yaitu penampikannya pada tekstualisme dan kejumudan dalam berpikir.

Mengutip Imam al-Qarafi, Kiai Ma'ruf menegaskan bahwa stagnan pada bunyi-harafiah teks Islam tidak memadai untuk menjawab persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan hari ini. Al-Qarafi berkata, al-jumud 'alal manqulat dhalalun fi al din. Lebih bermasalah lagi, demikian Kiai Ma’ruf, adalah tekstualisme dalam memahami teks-teks keagamaan seperti dalam Kitab Kuning.

Sejak awal 90-an hingga sekarang, Kiai Ma’ruf istiqomah berkampanye tentang pentingnya memahami kitab kuning secara kontekstual, yaitu usaha untuk memahami teks kitab kuning lengkap dengan memahami konteks ketika teks itu disusun oleh pengarangnya.

Tak hanya itu. Seperti umumnya para pembaharu Islam lain, Kiai Ma'ruf pun mengusung ide kemaslahatan. Sebuah adagium yang potensial menghambat pendaratan kemaslahatan dan menahan laju dinamisasi pemikiran Islam secara umum coba dimodifikasi oleh Kiai Ma'ruf. Adagium itu di antaranya berbunyi, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Kaidah ini sesungguhnya menuntut adanya keseimbangan antara merawat tradisi dan upaya inovasi. Namun, dalam implementasinya, bobot merawat tradisi lebih besar sehingga porsi untuk melakukan inovasi pemikiran kurang memadai.

Dari segi substansi, kaidah itu tentu tak bermasalah. Bahkan sangat baik. Namun, menurut Kiai Ma’ruf, kaidah itu perlu dilengkapi. Kiai Ma'ruf menawarkan modifikasi kaidah itu demikian, al-muhafadhah 'alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.

Poinnya, menurut Kiai Ma’ruf, kemaslahatan itu harus selalu ditinjau ulang. Sebab, “boleh jadi sesuatu dipandang maslahat hari ini, dua tiga tahun lagi sudah tidak maslahat lagi”, tandas Kiai Ma’ruf. Karena itu, penelusuran pada ditemukannya puncak kemaslahatan adalah kerja akademik yang perlu terus menerus dilakukan.

Tapi, sebagaimana para pemikir Islam lain, Kiai Ma’ruf tak membuka aktivitas istinbath pada ranah ibadah. Urusan ibadah, beliau pasrah. Sementara di ranah mu’amalah termasuk siyasah, Kiai Ma’ruf terus melakukan eksplorasi dan inovasi-inovasi pemikiran. Semoga sehat selalu, Kiai.

KH Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.


Sumber : NU Online

Alquran qodim Wahyu Minulyo Tanpo Ditulis Biso Diwoco Wejangan Guru Waskito Den Tancepake Ing Jero Dodo
Kumintil Ati Lan Pikiran Merasuk Ing Badan Kabeh Jeroan Mu'jizat Rosul Dadi Pedoman Minongko Dalan Manjinge Iman
Kelawan Alloh Kang Moho Suci Kudu Rangkulan Rino Lan Wengi Ditirakati Diriyadohi Dzikir Lan Suluk Jo Nganti Lali
Uripe Ayem Rumongso Aman Dununge Roso Tondo Yen Iman Sabar Narimo Najan Pas Pasan Kabeh Tinakdir Saking Pangeran
Kelawan Konco Dolor Lan Tonggo Kang Podo Rukun Ojok Ngasio Iku Sunae Rosul Kang Mulyo Nabi Muhammad Panutan Kito
Ayo Ngelakoni Sekabehane Alloh Kang Bakal Ngangkat Drajate Senajan Asohor Toto Dhoire Ananging Mulyo Maqom Drajate
Lamun Palestro ing Pungkasane Den Gadang Alloh Swargo Manggone Utuh Mayite Ugo Ulese
Ngawite Ingsun Nglarasa Syi'iran Kelawan Muji Maring Pangeran Kang Paring Rohmat Lan Kenikmatan Rino Wengine Tanpo Pitungan
Duh Bolo Konco Priyo Wanito Ojok Mong Ngaji Syare'at Bloko Gur Pintee Ndongeng Nulis Lan Moco Tembe Burine Bakal Sengsoro
Akeh Kang Apal Qur'an Hadise Seneng Ngafirke Marang Liyane Kafire Dewe Dak Digatekke Yen Isih Kotor Ati Akale
Gampang Kebujuk Nafsu Angkoro ing Pepaese Gebyare Ndunyo Iri Lan Meri Sugine Tonggo Mulo Mulo Atine Peteng Lan Nisto
Ayo Sedulur Jo Ngelaleake Wajibe Ngaji Sak Pranatane Nggo Ngendaleake iman Tauhite Baguse Sangu Mulyo Matine
Kang Aran Soleh Bagus Atine Kerono Mapan Seri Ngelmune Laku Thoriqot Lan Ma'rifate Ugo Hakekot Manjing Rasane
Al-Fatihah Dumateng Gus Dur!


Assalamu ’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz yang terhormat, saya ingin menanyakan hukum mengenai perpindahan atau geser dari tempat semula yang dijadikan untuk shalat fardlu ke tempat lain ketika hendak menjalankan shalat sunah. Praktik seperti ini sudah lazim di mana-mana.

Ketika seseorang telah selesai menjalankan shalat fardlu, dan ingin menjalankan shalat sunah, maka ia biasanya bergeser ke tempat lain. Bagaimana hukum pergeseran atau perpindahan tersebut? Mohon penjelasannya, karena saya juga melakukan hal yang seperti tetapi belum tahu dasar hukumnya. Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih banyak. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Musa/Bekasi Utara)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagaimana yang kita pahami bersama, shalat sunah merupakan pelengkap dari shalat fardlu.

Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya—yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui jalur Zaid bin Tsabit—menganjurkan untuk menjalankan shalat sunah di rumah. Tentunya tidak semua shalat sunah dianjurkan untuk dilaksanakan di dalam rumah seperti shalat Id dan shalat sunah gerhana.

Atas dasar ini para ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa jika shalat itu termasuk dari shalat yang setelahnya dianjurkan untuk menjalankan shalat nafilah atau shalat sunah, maka orang yang ingin mengerjakan shalat sunah tersebut dianjurkan melaksanakannya di rumah.

قَالَ اَصْحَابُنَا اِنْ كَانَتِ الصَّلَاةُ مِمَّا يُتَنَفَّلُ بَعْدَهَا فَالسُّنَّةُ اَنْ يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ لِفِعْلِ النَّافِلَةِ لِاَنَّ فِعْلِهَا فِي الْبَيْتِ اَفْضَلُ " لِقَوْلِهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا اَيُّهَا النَّاسِ فِي بُيُوتِكُمْ فَاِنَّ أَفْضَلَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ اِلَّا الْمَكْتُوبَةَ " رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ مِنْ رِوَايَةِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِىَ اللهُ تَعَالَي عَنْهُ

Artinya, “Menurut para ulama dari kalangan kami (Madzhab Syafi’i) bahwa jika shalat itu merupakan yang termasuk disunahkan untuk melakukan shalat sunah setelah shalat tersebut, sebaiknya seseorang untuk kembali rumahnya untuk menjalankan shalat sunah (nafilah). Sebab, menjanlakan shalat sunah tersebut lebih utama dilaksanakan di rumah karena terdapat sabda Nabi saw yang menyatakan: ‘Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian, karena yang paling utama shalatnya seseorang adalah di rumah kecuali shalat maktubah’. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Zaid bin Tsabit ra,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz III, halaman 472).

Sampai titik ini tidak ada persoalan berarti. Namun persoalan akan muncul jika orang yang sehabis shalat fardlu di masjid dan tidak ingin pulang ke rumah dulu tetapi ingin melaksanakan shalat sunah di masjid saja, misalnya. Apa yang sebaiknya ia lakukan, apakah ia shalat sunah di tempat yang telah digunakan untuk shalat fardlu?

Dalam kasus yang seperti ini menurut ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i—sebagaimana dikemukakan oleh Muhyiddin Syaraf An-Nawawi—ia disunahkan untuk bergeser atau pindah sedikit dari tempat semula ke tempat lain. Pertanyannya adalah kenapa ia disunahkan bergeser dari tempat semula? Jawaban yang tersedia menyatakan bahwa hal tersebut untuk memperbanyak tempat sujud. Demikian menurut Al-Baghawi dan ulama yang lain.

قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ لَمْ يَرْجِعْ إِلَى بَيْتِهِ وَأَرَادَ التَّنَفُّلَ فِي الْمَسْجِدِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَنْتَقِلَ عَنْ مَوْضِعِهِ قَلِيلاً لِتَكْثِيرِ مَوَاضَعِ سُجُودِهِ ، هَكَذَا عَلَّلَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ

Artinya, “Menurut para ulama dari kalangan kami, apabila orang yang shalat tidak segera kembali ke rumah, dan masih tetap ingin melaksanakan shalat nafilah di dalam masjid, maka disunahkan baginya untuk bergeser sedikit dari tempatnya semula demi memperbanyak tempat sujudnya. Demikian ini illat atau alasan di balik anjuran berpindah atau bergerser sebagaimana dikemukakan Al-Baghawi dan selainnya,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, halaman 472).

Logika yang dibangun Al-Baghawi dan ulama lain menarik untuk dicermati. Memperbanyak tempat sujud sama artinya memperbanyak tempat ibadah. Karena tempat sujud kelak akan akan menjadi saksi bagi orang yang bersujud di tempat tersebut sebagaimana firman Allah swt: “Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,” (QS Az-Zalzalah [99]: 4). Artinya, bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat kepadanya. Demikian yang kami pahami dari pernyataan Asy-Syaukani berikut ini.

وَالْعِلَّةُ فِي ذَلِكَ تَكْثِيرُ مَوَاضِعِ الْعِبَادَةِ كَمَا قَالَ الْبُخَارِيُّ وَالْبَغَوِيُّ لِأَنَّ مَوَاضِعَ السُّجُودِ تَشْهَدُ لَهُ كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا } أَيْ تُخْبِرُ بِمَا عُمِلَ عَلَيْهَا

Artinya, “Illat di balik (anjuran untuk bergeser sedikit, pent) adalah memperbanyak tempat ibadah sebagaimana dikemukakan Al-Bukhari dan Al-Baghawi. Sebab tempat sujud kelak akan menjadi saksi baginya sebagaimana firman Allah: ‘Pada hari itu bumi menceritakan beritanya,’ (QS Az-Zalzalah [99]: 4). Maksudnya adalah bumi akan mengabarkan apa yang diperbuat di atasnya,” (Lihat Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Awthar, Idarah At-Thiba’ah Al-Muniriyyah, juz III, halaman 241).

Selanjutnya bagaimana jika orang tersebut setelah shalat fardlu enggan bergeser sedikit untuk menjalankan shalat sunah? Apa yang sebaiknya ia lakukan jika ingin menjalankan shalat sunah? Solusi yang ditawarkan dalam konteks ini adalah sebaiknya ia memisah di antara shalat fardlu dan shalat sunah dengan berbicara kepada orang lain.

فَإِنْ لم يَنْتَقِلْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ فَيَنْبَغِي أَنْ يَفْصِلَ بَيْنَ الْفَرِيضَةَ وَالنَّافِلَةَ بِكَلَامِ إِنْسَانٍ

Artinya, “Namun jika ia enggan berpindah atau bergeser ke tempat lain, maka sebaiknya ia memisah antara shalat fardlu dan nafilah dengan cara berbicara dengan orang lain,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz III, h 472).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Mahbub Ma’afi Ramdlan)


Sumber : NU.OR.ID

Kamis, 02 Februari 2017


Sebagaimana nama-nama organisasi besar pada umumnya, nama Nahdlatul Ulama juga lahir dari pemikiran dan proses perdebatan yang intensif. Nama itu bermula dari bertemunya para kiai terkemuka pada 31 Januari 1926 di kampong Kertopaten Surabaya. Mereka berkumpul dalam rangka membahas dan menunjuk delegasi komite Hijaz—utusan yang hendak dikirim untuk menyampaikan pesan kepada Raja Abdul Aziz Ibnu Sa’ud.

Seperti tercatat dalam sejarah, Ibnu Sa’ud yang menjadi penguasa baru Hijaz (Saudi Arabia) waktu itu terkenal dengan kebijakannya yang meresahkan umat Islam di berbagai belahan dunia. Selain memberangus pluralitas madzhab, sang raja juga berniat menggusur situs-situs peradaban Islam, termasuk makam Rasulullah.

Yang beredar di benak para ulama waktu itu adalah organisasi apa dan apa pula namanya yang akan bertindak selaku pemberi mandat kepada delegasi tersebut?

Di sinilah perdebatan sengit seputar nama organisasi berlangsung, seperti diceritakan oleh Choirul Anam dalam buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 (Surabaya: Duta Aksara Mulia). Setidaknya ada dua nama atau usulan. Kedua nama ini secara prinsip sebenarnya sama namun memiliki implikasi yang berbeda.

KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik mengusulkan nama Nuhudlul Ulama disertai penjelasan bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Pendapat ini disambut oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz dengan sebuah sanggahan. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit. Melainkan, kebangkitan itu sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz itu sendiri. Hanya saja, kata Kiai Mas Alwi, kebangkitan atau pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisasi secara rapi.

Lewat argumentasi itu, Kiai Mas Alwi mengajukan usul agar jam’iyyah ulama itu diberi nama Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama), yang pengertiannya lebih condong pada “gerakan serentak para ulama dalam suatu pengarahan, atau, gerakan bersama-sama yang terorganisasi”.

Forum para kiai secara aklamasi menerima usulan KH Mas Ali bin Abdul Azis. Nama “Nahdlatul Ulama” pun ditetapkan pada hari itu juga, 16 Rajab 1344 H, tanggal bersejarah lahirnya organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang diperingati setiap tahun hingga kini.

Penjelasan sejarah ini menggambarkan kesan bahwa pendirian NU tak ubahnya seperti mewadahi suatu barang yang sudah ada. NU hanyalah sebagai penegasan formal dari mekanisme informal para ulama yang sepaham, serta pemegang tradisi dan cita-cita yang sehaluan.

Tentang nama “Nahdlatul Ulama”, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga punya pendapat. Dalam sejumlah kesempatan ia mengatakan bahwa nama ini diilhami oleh kalimat Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari, pengarang kitab al-Hikam yang populer di kalangan pesantren itu.

Akar kata “Nahdlatul Ulama” termuat dalam salah satu aforismenya yang berbunyi: “Lâ tashhab man lâ yunhidluka hâluhu wa lâ yadulluka ‘alallâhi maqâluhu (Janganlah engkau jadikan sahabat dari orang yang perilakunya tak membangkitkan dan menunjukkanmu kepada Allah)”. Menurut Gus Dur, KH Hasyim Asy’ari sering mengutip ungkapan itu. Kata 'yunhidlu', artinya membangkitkan, dan ulama termasuk orang yang bisa membangkitkan ke arah jalan Allah. (Mahbib Khoiron)


Sumber : NU Online

Pondok Pesantren dalam pendidikan Islam sejak zaman dahulu mempunyai peran signifikan. Belakangan ini di tengah tantangan global, sekurangnya pesantren mempunyai peran penting pada tiga hal.

Pertama, untuk pendidikan agama/akhlak (tafaqquh fiddin); kedua, penguatan agama dan bahasa Asing (modern); ketiga, persiapan kompetisi global dengan dunia Barat (Islam dan sains). 

Satu hal yang acapkali dilupakan orang tua atau wali para santri/peserta didik adalah sanad (jaringan) keilmuan dalam pendidikan (pembelajaran) Islam hingga sebuah pesantren itu masih tetap berdiri dan berlangsung. Tentu saja, hal itu hanya berlaku bagi pesantren yang berusia cukup tua.

Berkaitan dengan itu, penulis punya pengalaman menarik, yang penulis temukan pada saat ikut dalam rombongan kegiatan Anjangsana Islam Nusantara Program Pascasarjana Magister STAINU Jakarta pada 23-28 Januari 2016 di Pulau Jawa. 

Khususnya ketika silaturahim di beberapa pondok pesantren, yaitu di Kanzus Shalawat Pekalongan (Habib Luthfi), At-Taufiqy Wonopringgo Pekalongan (Kiai Taufiq), Kaliwungu Kendal (Kiai Dimyati Rois), Raudlatut Thalibin Rembang (Kiai Mustofa Bisri/Gus Mus), Al-Anwar Rembang (Kiai Maemun Zubair, Mbah Mun), Amanatul Ummah Pacet Mojokerto (Kiai Asep Saifuddin Chalim), Tebuireng (Gus Sholah) dan Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta (Kiai Nadjib Abdul Qadir).

Dari pesantren-pesantren di atas, semuanya mempunyai silsilah (sanad) keilmuan yang jelas dengan ulama-ulama di Nusantara, wabil khusus keterkaitannya dengan para pendiri Nahdlatul Ulama. Tulisan tangan atau naskah kuno juga menjadi bukti lain dari sanad keilmuan tersebut. 

Sebagai contoh salah satunya, pesantren Amanatul Ummah milik Kiai Asep Saifuddin Chalim. Sebelum mendirikan pesantren yang sangat modern dari sisi pengelolaan dan materi pendidikannya, Kiai Asep ini adalah salah satu putra Kiai Abdul Chalim Leuwimunding Majalengka, Jawa Barat, Kiai Chalim pernah nyantri dengan Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari dan berguru kepada Kiai Wahab Hasbullah.

Pesantren Amanatul Ummah adalah di antara sedikit pesantren NU yang telah mendesain sejak awal untuk menyongsong peradaban pendidikan global dengan tetap pada tradisi NU, mulai dari Aswaja hingga keindonesiaan-nya. Tradisi tahqiq (filologis) juga dikenalkan sejak dini, hampir setiap hari oleh para pengasuhnya. 

Oleh karena itu, apabila para alumninya yang telah belajar di perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UGM, UI, UNDIP, UIN, maupun di Eropa, Amerika, Asia, Timur Tengah, dan negara-negara lain, sudah dapat dipastikan mempunyai jalur sanad keilmuana Islam Nusantara. Hal itu tidak perlu diragukan lagi.

Sanad keilmuan melalui pesantren semacam itu sangat penting saat ini di tengah budaya pragmatisme umat yang hanya belajar melalui google tanpa mau belajar langsung dengan para kiai atau guru yang mempunyai sanad keilmuan yang tersambung dengan Nabi Muhammad SAW. 

Di situlah salah satu pentingnya memilih pesantren yang mempunyai sanad keilmuan yang jelas, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan kompetisi global, tetapi juga tafaqquh fiddin tetap dijaga.

Mahrus EL-Mawa, Wakil Ketua PP LP Ma'arif NU, Koordinator Diklat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Jakarta.

Sumber : NU Online


Khutbah I

 اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Kita semua tentu punya rumah. Tempat kita singgah dalam waktu yang lama. Tempat bernaung dan memperoleh keamanan dan kenyamanan. Di rumah kita menikmati adanya privasi, kedaulatan untuk—misalnya—beribadah secara khusyuk, belajar dengan fokus, dan sejenisnya. Rumah adalah kebutuhan pokok sekaligus hak seseorang yang tak boleh dirampas. Siapa pun tak berhak mencuri harta benda atau mengganggu rumah kita. Islam menjamin hak-hak ini sehingga si pemilik boleh membela diri. Seorang pencuri dalam Islam juga tak lepas dari sebuah sanksi.

Lebih luas dari rumah, kita menyebutnya rukun tetangga atau RT. Lebih luas lagi, ada rukun warga atau RW, kemudian kampung, desa, kecamaran, kabupaten, provinsi, hingga negara. Dalam bahasa Arab, untuk menyebut istilah-istilah tersebut dikenal kata dâr yang biasa diartikan rumah, tempat tinggal, negeri, atau sejenisnya. Kata lain yang juga digunakan adalah wathan yang berarti tanah air, tanah kelahiran, atau negeri.

Al-Jurjani pernah menyebut istilah al-wathan al-ashli, yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).

Tempat tinggal merupakan keperluan alamiah (thabi’i). Seluruh manusia, bahkan juga binatang, meniscayakan kebutuhan yang satu ini. Tapi mencintainya adalah bagian dari mencintai kebutuhan primer manusiawi yang memang sangat dijunjung tinggi syariat. Tidak salah bila para ulama mengatakan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah mengungkapkan rasa cintanya kepada tanah kelahiran beliau, Makkah. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau (Makkah) sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu” (HR Ibnu Hibban).

Setelah pengusiran tersebut, Nabi lantas hijrah ke kota Yatsrib yang di kemudian hari bernama Madinah. Di tempat tinggal yang baru ini, Rasulullah pun berharap besar bisa mencintai Madinah sebagaimana beliau mencintai Makkah.

Seperti yang terungkap dalam doa beliau yang terekam dalam Shahih Bukhari.

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah.” (HR al-Bukhari 7/161)

Jamaah shalat jum’at hadâkumullah,

Jelaslah bahwa cintah tanah air bukanlah ‘ashabiyah (fanatisme) sebagaimana dituduhkan oleh sebagian kalangan. Seolah-olah cinta tanah air berarti fanatik buta kepada negeri sendiri lalu mengabaikan atau bahkan merendahkan negeri lain. Tidak demikian. ‘Ashabiyah yang menjangkiti suku-suku zaman jahiliyah adalah sesuatu yang sangat dibenci Rasulullah. Fanatisme kesukuan memicu munculnya banyak perseteruan antargolongan. Menganggap cinta tanah sebagai ‘ashabiyah sama dengan menganggap Rasulullah melakukan sesuatu yang beliau benci sendiri. Tentu pandangan ini sama sekali tidak masuk akal.

Cinta tanah air bukan soal egoisme kelompok. Cinta tanah air adalah tentang pentingnya manusia memiliki tempat tinggal yang memberinya kenyamanan dan perlindungan. Cinta tanah air juga tentang kemerdekaan dan kedaulatan. Sehingga siapa pun yang berusaha menjajah atau mengusir dari tanah tersebut, Islam mengajarkan untuk melakukan pembelaan. Ketika kondisi aman, mencintai tanah air adalah sebuah hal wajar, bahkan sangat dianjurkan. 

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut juga mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menyejajarkan antara agama dan tanah air. Al-Qur’an memberi jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka.

Jamaah shalat jum’at hadâkumullah,

Lalu apa manfaat dari cinta tanah air? Apa beda cinta tanah air dengan cinta kita terhadap jenis makanan tertentu atau cinta kita terhadap tayangan televisi tertentu? Kita mafhum bahwa kata cinta bermakna lebih dari sekadar kesukaan atau kegemaran. Cinta mengandung asosiasi mengasihi, merawat, mengembangkan, juga melindungi. Ketika Rasulullah mencintai negeri Makkah, beliau menjadi orang yang sangat peduli terhadap penindasan dan bejatnya moral masyarakat musyrik kala itu. Saat beliau mencintai Madinah, beliau juga membangun masyarakat beradan dengan sistem hukum yang adil untuk masyarakat yang majemuk di Madinah.

Dengan demikian, cinta tanah air jauh dari pengertian fanatisme kelompok. Ia hadir justru dari semangat untuk menghargai seluruh manusia yang tinggal dalam satu tanah air yang sama meski berasal dari kelompok yang berbeda-beda. Cinta tanah air menandaikan seseorang untuk hidup saling menghargai, saling menolong, dan saling melindungi. Karena tanah air adalah tempat mereka lahir, sumber makanan, tempat beribadah, dan mungkin sekali juga tempat peristirahatan terakhir bagi kita.

Semoga Allah menjadikan negeri kita dalam limpahan keberkahan, aman, damai, dan sejahtera. Warga di dalamnya dianugerahi petunjuk sehingga mampu bersatu dan bersama-sama membangun kemaslahatan untuk semua.

بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم


Khutbah II


اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ



Alif Budi Luhur


Sumber : NU Online

Muslim terbaik ialah orang yang mampu membawa perubahan. Dalam Al-Qur’an, istilah perubahan ini identik dengan kata, al-amru bil ma’ruf wa nahy ‘anil munkar (menyuruh pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Pada surat Ali Imran ayat 110 misalnya, disebutkan bahwa umat terbaik adalah orang yang mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Setiap Muslim diharuskan untuk melakukan hal ini, membawa perubahan di masyarakat sesuai dengan kemampuannya.
Dalam rangka mengajak kebaikan dan mengubah kebiasaan buruk individu maupun masyarakat, tentu harus punya cara dan metode tertentu agar orang yang diajak terbuka hatinya dan merubah kelakuan buruknya. Ibarat penyakit, penanganan dan pengobatannya harus bagus dan sesuai agar tidak bertambah parah dan segera pulih. Ulama sering menegaskan, jangan sampai mencegah kemungkaran dengan membuat kemungkaran yang baru.
KH Achmad Shiddiq dalam tulisannya berjudul “Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sebagai langkah Pembinaan Khoiro Ummah dalam Masyarakat Pancasila” menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Amar Ma’ruf-Nahi Munkar (berikutnya disingkat AM-NH). Hal ini beliau tulis agar gerakan AM-NH produktif dan tidak menimbulkan masalah baru.

Pelaksanaan AM-NU terdiri dari empat unsur: muhtasib (pelaksana), muhtasab a’laih (objek/orang yang diajak), muhtasab fih (permasalahan), dan ihtisab (bentuk penanganan). Keempat unsur ini saling berkaitan dan apabila berubah salah satunya, maka pola penangananya pun akan berbeda. Misalnya, apabila kita ingin mengajak seorang anak  untuk berbuat baik dan rajin beribadah, tentu metodenya berbeda dengan orang dewasa. Menerapkan metode orang dewasa terhadap anak kecil akan menimbulkan masalah baru dan kemungkinan besar anak yang diajak tidak akan berubah.

KH Achmad menjelaskan, masing-masing unsur tersebut memiliki beberapa persyaratan dan skala prioritas. Dalam konteks ini, beliau mengutip pendapat Imam al-Ghazali bahwa muhtasib (pelaksana) haruslah ‘alim dan wara’. Orang yang akan melakukan AM-NH mestinya ialah orang yang berpengatahuan luas dan memahami betul persoalan yang sedang dihadapinya. Dia pun harus berhati-hati, bijak mengambil sikap, ikhlas, dan tidak mudah terpancing hawa nafsu. Apabila AM-NU dilakukan oleh organisasi atau kelompok, pimpinan organisasi dan ketua kelompoknya harus memiliki dua persyaratan ini: ‘alim dan wara’, setelah itu baru persyaratan ini dipenuhi oleh masing-masing anggotanya.

Pada saat berhadap dengan banyak masalah (muhtasab fih), seharusnya ada skala prioritas dalam menyelesaikannya. Tidak mungkin seluruh persoalan dapat diselesaikan dalam waktu bersamaan. Menurut KH Achmad, persoalan keimanan mestinya mendapatkan perhatian utama. Sebagaimana diketahui, iman terdiri dari tiga unsur: tasdiq bi qalbi (meyakini dalam hati), al-nutqu bi lisan (melafalkan dua kalimat syahadat), dan amal bi jawarih (melakukan amal shaleh). Peningkatan keimanan seseorang mesti dilakukan dengan cara yang baik dan bijak. Jangan sampai peningkatan kualitas keimanan  dilakukan dengan cara yang salah, tidak profesional dan bijaksana, seperti menggunakan kekerasan, mudah mengkafirkan, dan memusyrikan.

Terkait sasaran ajakan atau orang yang diajak (muhtasab ‘alaih), sejak deklarasi kembali ke Khittab 26, NU lebih fokus pada persoalan keumatan dan kemasyarakatan. NU berusaha agar kualitas iman dan Islam masyarakat Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kualitas beragama tersebut dilakukan dengan cara yang halus dan tidak menyakitkan.

Dilihat dari sejarah perjuangan Rasulullah, pada tahap awal beliau lebih fokus pada pemantapan iman masing-masing individu, setelah itu baru memikirkan bagaimana membangun masyarakat Islam (islamic society building), dan pada saat tatanan sosial sudah terbangun, baru urusan pemerintah dan politik diatur agar masyarakat tetap sejahtera dan tercapainya misi kerahmatan Islam. Sebab itu, metode dan pendekatan dakwah yang digunakan Nabi pada saat berada di Mekah berbeda dengan Madinah. Wallahu a’lam (Hengki Ferdiansyah)

Sumber : NU Online


Nama Rabi’ah al-’Adawiyah harum di mata banyak orang. Kealimannya, kerendahhatiannya, dan hidup zuhudnya seolah memunculkan magnet yang menarik banyak kalangan untuk mengaguminya sebagai perempuan sufi yang tak biasa. Tak hanya masyarakat awam, kekaguman tersebut ternyata juga dimiliki para ulama besar yang sezaman.

Tak heran, ketika ulama perempuan ini berstatus janda lantaran sang suami wafat, banyak ulama yang berusaha melamarnya untuk menjadi pendamping hidup. Dalam kitab Durratun Nashihin diuangkapkan, para ulama ternama yang terpikat hatinya itu antara lain Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Tsabit al-Banani.

Ketika para ulama tersebut suatu hari datang ke kediaman Rabi’ah al-’Adawiyah dan mengutarakan maksud tulus mereka untuk meminang, dari balik hijab Rabi’ah berujar, “Baiklah, tapi aku ingin tahu, siapakah di antara kalian yang paling alim, maka aku akan bersedia menjadi istrinya.”

“Dialah Hasan al-Bashri,” sahut Malik bin Dinar dan Tsabit al-Banani. Suasana “persaingan” merebut hati Rabi’ah ternyata tak menghalangi mereka untuk tetap tawadhu’ satu sama lain.

Rabi’ah pun mulai mengajukan persyaratan kepada Hasan al-Bashri. “Jika Tuan mampu menjawab empat masalah yang aku ajukan maka aku bersedia menjadi istri Tuan.”

“Silakan, wahai Rabi’ah. Semoga Allah memberi taufiq kepada aku dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,” balas Hasan al-Bashri.

“Menurut Tuan, kalau aku meninggal dunia, apakah kematianku dengan membawa ketetapan iman atau tidak?”

“Maaf, hal ini termasuk hal yang ghaib, dan tiada yang tahu pasti kecuali Allah,” jawab Hasan al-Bashri.

Rabi’ah melanjutkan, “Ketika aku bersemayam dalam kubur, lalu malaikat Munkar dan Nakir bertanya, menurut Tuan, mampukah aku menjawabnya?”

“Maaf, itu juga termasuk masalah ghaib. Yang tahu hanyalah Allah.”

“Menurut Tuan, ketika manusia dihimpun di hari Kiamat kelak, aku termasuk orang yang menerima kitab amal dengan tangan kanan ataukah kiri?”

Hasan al-Bashri masih mengutarakan jawaban yang sama. Ia tak dapat menjawab masalah yang ia nilai ghaib itu.

“Menurut Tuan, ketika manusia dipanggil, aku termasuk golongan orang yang masuk surge atau neraka?”

Lagi-lagi Hasan al-Bashri meminta maaf dan mengembalikan kepastian atas jawaban tersebut kepada Allah. Ia tahu, Rabi’ah adalah tokoh dengan ketaatan dan prestasi ruhani yang luar biasa. Tapi untuk urusan nasib kehidupannya kelak, Hasan tak mau memberi penilaian. Hasan menghindar dari apa yang menjadi hak prerogatif Allah.

“Bagi orang yang sedang kalut memikirkan empat masalah ini, mana ada kesempatan untuk berumah tangga?” kata Rabi’ah.

Para ulama itu pun meneteskan air mata dan keluar dari rumah Rabi’ah al-’Adawiyah dengan penuh penyesalan. (Mahbib)

Sumber : NU Online


Oleh KH A Mustofa Bisri

Suatu ketika seorang laki-laki menghadap Nabi Muhammad SAW dan gemetaran –oleh wibawa beliau-- saat berbicara. Nabi SAW pun berkata menenangkan: “Tenang saja! Aku bukan raja. Aku hanyalah anaknya perempuan Qureisy yang biasa makan ikan asin.” (Dalam hadisnya, menggunakan kata qadiid yang maknanya dendeng, makanan sederhana di Arab. Saya terjemahkan dengan ikan asin yang merupakan makanan sederhana di Indonesia).

***

Ketika Rasulullah SAW datang di Mekkah, setelah sekian lama hijrah, sahabat Abu Bakar Siddiq r.a. sowan bersama ayahandanya, Utsman yang lebih terkenal dengan julukan Abu Quhaafah. Melihat sahabat karib sekaligus mertuanya bersama ayahandanya itu, Rasulullah SAW pun bersabda “Wahai Abu Bakar, mengapa Sampeyan merepotkan orang tua? Mengapa tidak menunggu aku yang sowan beliau di kediamannya?”

***

Sahabat Abdurrahman Ibn Shakhr yang lebih dikenal dengan Abu Hurairah r.a. bercerita: “Suatu ketika aku masuk pasar bersama Rasulullah SAW. Rasulullah berhenti, membeli celana dalam dan berkata: ‘Pilihkan yang baik lho!’ (Terjemahan dari aslinya: Rasulullah bersabda kepada si tukang timbang, ‘Timbang dan murahin – bahasa Jawa: sing anget—‘. Boleh jadi waktu itu, beli celana pun ditimbang). Mendengar suara Rasulullah SAW, si pedagang celana pun melompat mencium tangan beliau. Rasulullah menarik tangan beliau sambil bersabda: ‘Itu tindakan orang-orang asing terhadap raja mereka. Aku bukan raja. Aku hanyalah laki-laki biasa seperti kamu.’ Kemudian beliau ambil celana yang sudah beliau beli. Aku berniat akan membawakannya, tapi beliau buru-buru bersabda: ‘Pemilik barang lebih berhak membawa barangnya.’”

***

Itu beberapa cuplikan yang saya terjemahkan secara bebas dari kitab Nihayaayat al-Arab-nya Syeikh Syihabuddin Ahmad Ibn Abdul Wahhab An-Nuweiry (677-733 H) jilid ke 18 hal 262-263. Saya nukilkan cuplikan-cuplikan kecil itu untuk berbagi kesan dengan Anda. Soalnya saya sendiri, saat membacanya, mendapat gambaran betapa biasa dan rendah hatinya pemimpin agung kita Nabi Muhammad SAW.

Dalam kitab itu juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW sering naik atau membonceng kendaraan paling sederhana saat itu; yaitu keledai. Rasulullah SAW suka menyambangi dan duduk bercengkerama dengan orang-orang fakir-miskin. Menurut istri terkasih beliau, sayyidatina ‘Aisyah r.a dan cucu kesayangan beliau Hasan Ibn Ali r.a, Rasulullah SAW mengerjakan pekerjaan rumah; membersihkan dan menambal sendiri pakaiannya; memerah susu kambingnya; menjahit terompahnya yang putus; menyapu dan membuang sampah; memberi makan ternak; ikut membantu sang istri mengaduk adonan roti; dan makan bersama-sama pelayan.

Sikap dan gaya hidup sederhana sebagaimana hamba biasa itu agaknya memang merupakan pilihan Rasulullah SAW sejak awal. Karena itu dan tentu saja juga karena kekuatan pribadi beliau, bahkan kebesaran beliau sebagai pemimpin agama maupun pemimpin Negara pun tidak mampu mengubah sikap dan gaya hidup sederhana beliau. Bandingkan misalnya, dengan kawan kita yang baru menjadi kepala desa saja sudah merasa lain; atau ikhwan kita yang baru menjadi pimpinan majlis taklim saja sudah merasa beda dengan orang lain.

Memang tidak mudah untuk bersikap biasa; terutama bagi mereka yang terlalu ingin menjadi luar biasa atau mereka yang tidak tahan dengan ‘keluarbiasaan’. Apalagi sering kali masyarakat juga ikut ‘membantu’ mempersulit orang istimewa untuk bersikap biasa. Orang yang semula biasa dan sederhana; ketika nasib baik mengistimewakannya menjadi pemimpin, misalnya, atau tokoh berilmu atau berada atau berpangkat atau terkenal, biasanya masyarakat di sekelilingnya pun mengelu-elukannya sedemikian rupa, sehingga yang bersangkutan terlena dan menjadi tidak istimewa. Keistimewaan orang istimewa terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya itu. Keistimewaan khalifah Allah terutama terletak pada kekuatannya untuk tidak terlena dan terpengaruh oleh kekhalifahannya, mampu menjaga tetap menjadi hamba Allah.

Keistimewaan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin antara lain karena beliau tidak terlena dan terpengaruh oleh keistimewaannya sendiri. Kita pun kemudian menyebutnya sebagai pemimpin yang rendah hati.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh paling baik dari seorang hamba Allah yang menjadi khalifahNya. Beliau sangat istimewa justru karena sikap kehambaannya sedikit pun tidak menjadi luntur oleh keistimewaannya sebagai khalifah Allah.

Selawat dan salam bagimu, ya Rasulallah, kami rindu! 

.: Artikel ini dinukil dari akun Facebook pribadi KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) yang kini menjadi salah satu Mustasyar PBNU. Gus Mus mempublikasikan tulisan ini pada 26 Februari 2010.

Sumber : NU Online

SUPPORTED BY

MUTIARA HIKMAH

“Ingatlah.. Allah selalu memberikan kelebihan dibalik kekurangan. Allah selalu memberikan Kekuatan dibalik kelemahan.”

“Ketika perjalanan hidup terasa MEMBOSANKAN. Maka Allah menyuruh kita untuk banyak BERSYUKUR.”

“Ketika kesedihan menjatuhkan AIR MATA Maka Allah meminta kita untuk berusaha TERSENYUM .”

“Kegagalan dalam hidup merupakan salah satu proses untuk menuju sukses.”

TERJEMAHKAN

Diberdayakan oleh Blogger.

NU PEDULI

INFO KARTANU ATM

POST ANSORUNA

PEPELING

“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Luqman: 34)